HICP Residency Programme

Throughout November 2018, I will take part in the Helsinki International Curatorial Programme (HICP), co-organised by Frame Contemporary Art Finland and the HIAP Helsinki International Artist Programme. The result of its selection came few weeks ago and my application was selected among other four selected curators/artists for this year HIAP residency programme.

During my HICP residency at HIAP, I will undertake a curatorial research project questioning the contemporary art practices related to ecological and environmental issues. My research focuses on “forest,” “paper,” and how these relate to contemporary art practices. The main question is what kind of criticality and practices examine the aforementioned issues within the contemporary art. The research will involve studio and site visits, as well as archival research. I expect a series of discussion and public events as the outcome of this research.

This residency is organised in the frame of Helsinki International Curatorial Programme (HICP) in partnership with Frame Contemporary Art Finland.

×

Jakarta, January 2018.

Di dalam Ketidakpastian, Reaksi Kami Terhadap Krisis adalah Solidaritas

Sebagai Peserta de Appel Curatorial Programme 2015-16 (selanjutnya saya sebut de Appel CP), saya dan beberapa partisipan lainnya diharuskan membuat sebuah proyek seni atau pameran seni rupa. Setiap tahunnya de Appel arts center (selanjutnya saya tulis de Appel) memilih enam partisipan dari seluruh dunia, untuk menyelenggarakan sebuah pelatihan kurator lintas negara dengan fokus pada praktik seni rupa kontemporer internasional. Program ini telah diselenggarakan sejak 1994 dengan inisiatif dari Saskia Bos, Direktur de Appel pada masa itu.

Pengajuan proposal proyek pameran merupakan persyaratan pertama yang harus dilengkapi oleh para calon partisipan. de Appel menerima lebih dari lima puluh, bahkan bisa mencapai seratus lebih aplikasi secara keseluruhan setiap tahunnya. Pada tahap pertama, mereka membaca proposal dan menyeleksi dua belas di antaranya untuk maju ke tahap seleksi wawancara. Pada tahap selanjutnya, beberapa juri internasional diundang untuk menentukan enam kurator terpilih sebagai partisipan de Appel CP. Pada kedua proses seleksi inilah, kemampuan calon peserta, pengalaman dan visi misi mereka diuji; sebagai dasar pemilihan yang dilakukan oleh para juri tersebut. Pertimbangan lainnya ialah komposisi dalam grup yang memungkinkan interaksi dan berbagi pengetahuan setiap partisipannya; dengan ini biasanya de Appel memilih komposisi yang beragam baik dari sisi pengalaman maupun latar belakang bidang keilmuan yang ditekuni oleh para calon partisipan.  Pada tahun 2015-16 ini, terdapat partisipan dari latar belakang Arsitektur, Filsafat, Sejarah Seni, Ilmu Politik dan dua di antaranya memiliki latar belakang seniman. Masing-masing dari mereka berasal dari Helsinki, Jakarta, Kiev, Nairobi, Napoli, dan Vienna. Salah satu orang calon peserta dari Teheran mengundurkan diri dan harus digantikan oleh calon peserta lainnya, pada tahun ini tidak terdapat peserta tuan rumah dari negeri Belanda.

You Must Make Your Death Public adalah judul proyek akhir yang saya kerjakan bersama Jussi Koitela (Helsinki) dan Renée Mboya (Nairobi) sebagai bagian akhir dari de Appel CP 2015-16 ini. Pemilihan judul ini terinspirasi oleh sebuah judul buku berisi kumpulan tulisan mengenai karya-karya Chris Kraus. Hal yang menginspirasi dari judul ini ialah bagaimana mereka menyusun sebuah karya berdasarkan profil satu subyek sebagai sumber utama; yang lebih kurangnya kami praktikan dalam penyusunan proyek akhir ini.

Dengan proses persiapan yang tidak lebih dari empat bulan, proyek pameran ini dibuka pada 22 April hingga 12 Juni 2016. Pada mulanya kami mulai menyususn rencana proyek akhir ini bersama keenam partisipan secara keseluruhan. Kerja kolektif yang kita mulai sejak September 2015 berakhir pada Januari 2016 dengan terpecahnya grup menjadi dua bagian. Oleh karena itu pada tahun 2015-16, de Appel CP memiliki dua proyek akhir yang diinisiasi oleh masing-masing tiga kurator di dalamnya. Alasan perpecahanpun beragam mulai dari konflik internal, masalah komunikasi, dan yang paling menentukan ialah adanya perbedaan sikap dan pandangan politis yang melatar belakangi keputusan-keputusan yang harus diambil. Dalam beberapa kesempatan saya merasa bahwa hal lain yang menjadi pemicu ialah perbedaan cara kerja dan pemahaman mendasar mengenai apa itu kerja kuratorial, apa itu pameran seni rupa dan bagaimana memposisikannya di tengah publik. Disadari maupun tidak, ini adalah konsekuensi logis dari sebuah praktik collective curating yang diharapakan terjadi di dalam program ini. Dalam beberapa kesempatan, tidak sedikit para praktisi yang kita jumpai menilai ini merupakan hal yang sangat sulit dilakukan, jika bukan mustahil. Tentu ini bukanlah hal yang baru bagi sebagian dari kita untuk bekerja bersama, seperti yang pernah saya lakukan bersama Curators Lab untuk Jakarta Biennale misalnya, namun faktor-faktor di atas terlalu kuat memicu konflik seiring berjalannya watku persiapan yang semakin menyempit.

You Must Make Your Death Public adalah sebuah upaya kritis menghadirkan tema ‘krisis’ yang sedang terjadi di dalam institusi dan masyarakat kontemporer. Salah satu pemicu munculnya ide ini tidak lain adalah krisis institusi yang terjadi di de Appel setelah dewan institusi memecat direktur mereka Lorenzo Benedetti pada September 2015.  Lorenzo membawa kasus ini ke pengadilan dan beberpaa kali persidanganpun diselenggarakan; hingga akhirnya pada Mei 2016 semua anggota dewan institusi mengundurkan diri setelah mendapat hasil negatif dari pre-advise subsidi Dewan Kebudayaan Belanda untuk de Appel. Ini berarti lampu merah bagi de Appel jika hasil dari pre-advice ini menjadi keputusan akhir, mereka akan kehilangan hampir 60% pendanaan mereka untuk 2017-2020.

Pada masa-masa setelah dipecatnya Lorenzo Benedetti, secara otomatis kami sebagai partisipan de Appel CP harus berjalan tanpa pimpinan institusi. Dalam riuh rendah dan bergulirnya kasus ini, kami mengorganisasikan diri sendiri dengan dibantu oleh koordinator program yang juga menanggung tugas berat dengan absennya Direktur. Krisis ini, dalam pengamatan kami, terjadi sebagai ekses dari Krisis Eropa (dengan huruf kapital K) yang terjadi pada 2008. Sebagai akibatnya, beberapa negara termasuk Kerajaan Belanda menjalankan program austerity atau pengurangan alokasi dana publik terutama untuk sektor kebudayaan. Peristiwa ini lebih sering juga disebut sebagai istilah budget cut yang dampaknya bahkan bisa terasa di negara-negara berkembang yang sering mendapat bantuan dana dari negara dua pertama. Fenomena ini tidak hanya terjadi di negeri Belanda, sejumlah institusi seni mengalami hal serupa. Beberapa fenomena ini tercatat dengan lebih jelas dalam pengamatan Minna Henriksson dalam pemetaan yang ia gambar sebagai bagian dari publikasi yang kami terbitkan berikut ini:

Dalam diskusi-diskusi awal pembentukan gagasan, perbincangan banyak mengarah pada fenomena krisis-krisis di sekitar kami dalam konteks Eropa dan yang sedang terjadi saat itu seperti melonjaknya angka pengungsi ke Eropa yang berasal dari daerah konflik seperti Timur Tengah, Levant dan Afrika. Bermula dari permasalahan krisis institusi, kami melihat perlunya penelaahan sejarah untuk memulai membangun kerangka berpikir. Dalam pencarian tersebut, kami berkesimpulan bahwa institusi seni telah memiliki krisisnya sendiri sejak ia dilahirkan paska Revolusi Industri, yang dibentuk sebagai institusi bagi kalangan borjuis pada masa itu. Sifatnya yang inklusif ialah warisan yang masih bisa dirasakan hingga saat ini, di belahan dunia manapun yang terkadang membentuk tatanan-tatanan oligarki kesenian yang berjarak jauh dari masyarakat umum. Krisis kedua ialah berkaitan dengan pengaruh sistem neo-liberal dan intervensinya pada bidang-bidang kehidupan masyarakat kontemporer, hilangnya subyektifitas, hingga situasi kesenian dalam masa Post-Fordism dan Post-Welfare State. Proyek ini kemudian kita kembangkan ke persoalan yang lebih besar dalam memahami isu krisis yang terjadi di masyarakat kontemporer seperti diuraikan sebelumnya, bukan hanya dalam lingkup dunia seni dan institusinya. Perlu digarisbawahi, bahwa kritik terhadap institusi ini sama sekali tidak berkaitan dengan gagasan Institutional Critique yang dalam sejarah perkembangan seni rupa memiliki sistematikanya sendiri.

Dengan berpijak pada krisis yang terjadi di de Appel, upaya-upaya untuk membaca krisis dilakukan dengan mengundang 29 kontributor dalam proyek ini. Semua kontributor memiliki perannya masing-masing dalam proyek yang dilakukan dalam tiga bagian utama: proyek pameran, publikasi, dan program publik. Pemilihan nama kontributor, memungkinkan kita mendapatkan pemahaman setara antara seniman, aktivis, akademisi, kurator, peneliti, penulis, dan lain sebagainnya yang terlibat dalam proyek ini. Akan terlihat tidak adil jika menggarisbawahi seniman sebagai aktor utama dalam penyelenggaraan ini. Ini juga yang membuat kami sebagai kurator lebih memilih menyebut diri kami sebagai inisiator dalam publikasi yang kita terbitkan. Terasa kecil dalam pergantian penamaannya, namun berarti banyak dalam pemaknaannya. Unsur-unsur retorik ini menjadi salah satu bagian yang kami eksplorasi untuk memikirkan dan mempertanyakan kembali peran dan relasi antar individu dalam sebuah proses pembuatan pameran.

You Must Make Your Death Public diselenggarakan di lantai dasar de Appel arts center, Prins Hendrikkade 142, Amsterdam. Empat seniman berkontribusi pada ruang-ruang pamer tersebut, yang kami sebut juga sebagai artistic interventions. Keempatnya ialah Nicoline van Harskamp, Minna Henriksson, Irwan Ahmett dan Tita Salina (grup seniman) serta Philipp Gufler.

Keempat seniman ini memiliki kompleksitas karyanya masing-masing. Karya Nicoline van Harskamp ialah rekaman film pendek dari proses penerjemahan konsep kuratorial You Must Make Your Death Public ke dalam bahasa Esperanto; setelah Nicoline, kami para kurator, beberapa melakukan les singkat bahasa Esperanto. Proses penerjemahan ini didampingi seorang ahli bahasa dan Esperantis bernama Leston Buell.

Intervensi Irwan Ahmett dan Tita Salina dilakukan dengan berkolaborasi bersama Indonesian Migrant Wokers Union Netherlands (IMWU). Sebuah performance yang dilakukan oleh para pekerja migran Indonesia yang tidak berdokumen (baca: ilegal) di dalam gedung de Appel. Irwan dan Tita menyusun performance ini berkaitan dengan film Dispereert Niet yang mereka buat sebelumnya, dan mengaitkan aksi secara konseptual sebagai upaya ‘pembersihan’ institusi bernama de Appel. Dengan absennya Irwan dan Tita secara fisik di dalam waktu penyelenggaraannya, performance ini terlaksana dengan bantuan dari dua seniman asal Rotterdam, Eva Olthof dan Reinaart Vanhoe.

Philipp Gufler menampilkan instalasi-instalasi yang bersinergi dengan beberapa program publik yang ia buat berkaitan dengan risetnya terhadap seniman performance art Ben D’Armagnac (Amsterdam, 1940-1978) dan Rabe Prepexlum (München, 1956-1996). Karya-karyanya merupakan dua seri berbeda, namun memiliki kesaaman dalam metode penggunaan arsip dan riset artistik pada keduanya. Khusus dalam karyanya yang berkaitan dengan kehidupan dan kematian Ben D’Armagnac berjudul “Een gebeuren,” Philipp mendapat bantuan dari penulis Louwrien Wijers sebagai narasumber, ia merupakan teman dekat Ben semasa hidupnya.

Karya Minna Henriksson ialah hasil observasi dia terhadap isu krisis institusi di de Appel yang melibatkan beberapa pihak: Direktur, para Tutor, anggota Dewan, para pekerja di de Appel, Artist Support Group, hingga para partisipan de Appel CP. Informasi-informasi tersebut didapatkannya dari berbagai medium: melalui wawancara langsung dengan pihak-pihak yang terlibat, pencarian informasi di kanal-kanal berita daring, hingga kabar burung yang disebarkan melalui media sosial. Cetakan gambar yang diperbesar ini disusun sebagai mind mapping, ditempelkan di dinding-dinding ruang pameran dengan teknik penempelan layaknya karya wheatpaste dalam dunia street art. Pada karya Minna inilah titik mula gagasan pameran ini diletakkan –dari krisis institusi di de Appel– dan kemudian diarahkan ke isu krisis yang lebih luas lagi, seperti krisis kesetaraan gender, krisis ketenagakerjaan, kependudukan, politik bahasa, institusi, dan lain sebagainya.

Program publik yang disusun dalam proyek ini dilakukan di ruangan paling depan, dan juga paling besar di lantai bawah de Appel arts center, Prins Hendrikkade 142. Selain menyelenggarakan program seperti pada acara pameran pada umumnya, beberapa hal kami tekankan sebagai landasan berpikir. Pada praktiknya, dengan acara yang dinamakan Co-Speaking Programme ini, hal paling penting ialah sebagai upaya membangun solidaritas kepada pihak-pihak yang bergulat dengan krisis di masyarakat kontemporer. Sebagai ruang, tempat penyelenggaraan program publik ini disebut sebagai Co-speaking Platform. Co-Speaking berarti ‘berbicara bersama,’ untuk beranjak dari ‘berbicara tentang’ yang mempunyai jarak antara subyek yang mengalami dan membicarakannya. Gagasan ini terinspirasi dari sebuah tulisan percakapan antara Trinh T. Minh-ha bersama Nancy N. Chen berjudul Speaking Nearby, yang pada praktiknya berusaha kami terapkan dalam proyek ini. Tidaklah mudah untuk membuka ruang kepada orang lain, baik grup atau perseorangan untuk membuka diskusi di ruangan de Appel yang telah memiliki ‘penontonnya senidiri.’ Dalam ruang yang didominasi oleh orang kulit putih, kami mencoba mengundang beberapa kelompok yang tidak akrab dengan de Appel sebagai institusi. Percobaan ini memang pada praktiknya tidak sepenuhnya berhasil, namun beberpa di antaranya terlaksana dengan sangat luar biasa. Total 10 acara publik diselenggarakan di dalam kurun waktu enam bulan periode pameran berlangsung, dalam format pemutaran film, diskusi, presentasi riset, wawancara, dan performance. Keterangan lebih rinci mengenai program publik ini bisa dilihat pada tautan ini.

Publikasi ialah hal terakhir yang akan saya ceritakan dalam tulisan ini. Secara teknis, tantangan penerbitan publikasi ini cukup besar karena kami sebagai inisiator menginginkan publikasi ini terbit cetak sebelum pameran dibuka. Dengan kerja keras dari semua pihak, terutama Syennie Valeria perancang grafis dan tata letak untuk publikasi ini, akhirnya publikasi ini selesai dicetak di Jakarta dan dikirimkan ke Amsterdam sebelum pembukaan pameran dilaksanakan. Publikasi ini diberi judul persis seperti judul proyek secara keseluruhan, You Must Make Your Death Public. Kontributor dalam publikasi ini terdiri dari Minna Henriksson, Nicoline van Harskamp, Lian Ladia, Yasmine Soraya, Buyung Ridwan Tanjung, Philipp Gufler, Platform BK, dan kami sendiri sebagai inisiator proyek pameran. Bahasa dan penerjemahan merupakan salah satu hal yang sering menjadi bagian penting dalam proses kami menyusun proyek ini. Sebagai contoh, setiap hari komunikasi dilakukan dengan bahasa Inggris, yang sama sekali bukan bahasa Ibu kami. Kesalahan-kesalahan komunikasi dan penerjemahan lumrah terjadi, baik dalam bahasa lisan maupun tulisan. Pada kegiatan sehari-harinya, kita dihadapkan dengan bahasa Belanda, dan lebih fokus lagi, berada di dunia seni rupa kontemporer yang punya ‘bahasanya sendiri.’ Inilah yang membuat kami memutuskan memperlihatkan kompleksitas bahasa ini lebih muncul dalam You Must Make Your Death Public baik dalam publikasi maupun program publik. Dalam publikasi yang diterbitkan, terdapat teks-teks dalam bahasa Inggris, Belanda, Indonesia, dan Jerman; disesuaikan dengan subyek yang dibahas pada tiap-tiap isi publikasi. Secara utuh, versi digital dari publikasi ini bisa dilihat di sini.

Tanggapan terhadap proyek ini bisa dikatakan cukup beragam. Beberapa pihak menilai positif dalam sisi penyelenggaraan program publik yang berkelanjutan hingga akhir periode pameran; meskipun beberapa anggota staf dan dewan de Appel sempat terganggu dengan karya Minna Henriksson yang secara terbuka menampilkan isu krisis di dalam tubuh institusi de Appel. Beberapa liputan media nasional Belanda seperti NRC, Metropolis M menuliskannya dalam bentuk ulasan yang lebih bersifat umum. Bagian paling menarik ialah membaca ulasan de Volkskrant yang tidak terlalu positif dalam melihat proyek ini, namun mereka mampu membaca dengan tajam gagasan yang kami susun.  Dengan detail mereka mengkritisi penyelenggaraan Co-Speaking Programme yang terdengar samar-samar dan tidak membuat menarik pengunjung (Dat klinkt reuzevaag en uitnodigend) dengan menyebutnya Anarchistische willekeur atau keserampangan yang anarkis. Dengan tanggapan tersebut, pada beberapa titik kami merasa berhasil mengusik kemapanan posisi de Appel sebagai institusi seni: dengan memaknai kembali, mempertanyakan dan menampilkannya ke hadapan publik.

×

Amsterdam, Juli 2016.

The Young Curator’s Forum: Bridging the Gap, and Creating the Next Generation

When I visited Japan for the first time, I was remembering my own childhood. Growing up in the early 1990’s, Indonesia’s television was inundated with Japanese children’s entertainment programs. Not all of them stayed with me, but as I set foot on Japanese soil for the first time, the memories came flooding back.

As adulthood loomed, my infatuation with Japanese cartoons and superhero stories waned, and my understanding of Japanese culture was replaced by movies from Studio Ghibli and Akira Kurosawa. In 2009, my second year studying fine art in college, I was introduced to another form of Japanese culture: The Japan Foundation Jakarta. At the time, I regularly attended movie screenings and art exhibitions by The Japan Foundation and many other foreign cultural centers, such as The Erasmus Huis (Dutch cultural center), Institut Français d’Indonésie (formerly known as CCF, the French cultural center), Goethe-Institut Jakara (German culture), and the Instituto Italiano di Cultura (Italian culture). Sometime in 2010, I submitted a proposal to the Japan Foundation for a printmaking exhibition with some of my college friends in the Jakarta Institute of Arts (IKJ). The proposal was rejected. Or at least, it received no reply. Finally, in 2011, the Japan Foundation Jakarta’s cultural division accepted a joint exhibition proposal I submitted with some of my friends in IKJ.

Since then, I’ve been involved in various projects organized by the Japan Foundation’s cultural division: exhibitions, workshops, and now the Next Generation Program for Curators of Southeast Asia. Personally, I don’t perceive the Next Generation Program as merely a workshop, in spite of its billing. In practice, this program gives a chance for its participant to present selected proposals for their curatorial projects. The participants mainly present and discuss their projects among themselves, or with their mentors. This program was held in four different countries: the Philippine, Indonesia, Malaysia, and Thailand. In Indonesia, this program was held in The Japan Foundation Jakarta with two international curators acting as our mentor: Ade Darmawan (curator, director at ruangrupa) and Yukie Kamiya (chief curator, Hiroshima MOCA).

I was fortunate enough to be one the participants chosen to fly to Japan with three other Indonesian participants: Sita Magfira, A. Khairudin, and Angga Wijaya. We presented the project proposal we submitted in Jakarta again in this forum, and received many valuable input in developing our individual projects. I can’t say for sure whether the same applies for other countries, but every proposal submitted by Indonesian participants have received the full support of The Japan Foundation. And not just the proposals who were selected to go to Japan.

The young Southeast Asian curator’s forum chose to call this entire project Run and Learn: New Cultural Constellation. Indeed, running and learning succinctly summarizes our two main activities during our stay in Japan. In literal terms, we ‘run’ every day to keep up with the intense pace of our Japanese ‘learning’ visit. Over twenty museums and art exhibitions, for fourteen days, and in eight different cities: Tokyo, Yokohama, Nagoya, Osaka, Kanazawa, Hiroshima, Yamaguchi, and Fukuoka. In the end, we chose to drop the ‘Southeast Asia’ term from our program name, as not all Southeast Asian countries were represented in this program.

Again, I reiterate my doubt in calling this program a ‘workshop’. I personally prefer to call it a forum for young curators. Apart from presenting our individual project proposals, we had the chance to visit and interact with the curators in various museums, art studios, and galleries. Among others, we visited the Tokyo Museum of Contemporary Art, the 21st Century Museum of Contemporary Art in Kanazawa, the Hiroshima Museum of Contemporary Art, the Fukuoka Asian Art Triennale, and the Yokohama Triennale.

On Indonesian Contemporary Art

One of the landmark in Indonesia’s contemporary art history was the emergence of the New Art Movement (Gerakan Seni Rupa Baru) in 1975. After GSRB came to the fore in 1975, Indonesia’s art scene took another contemporary turn in the early 1990’s. As the Cold War ended with the demise of socialist Soviet Union and the decline of Communist power, countries around the world – including previously neutral countries such as Indonesia – started feeling the effects of globalisation. Japan and Australia were among the countries that intensely explored regional art issues by organising exhibitions in Asia, Southeast Asia, and the Asia-Pacific region. Institutions such as The Japan Foundation, Fukuoka Asian Art Museum, and the Queensland Art Gallery among others, actively organised major exhibitions, research programs, and publishing campaigns. (1) An important landmark of this new turn of events was the New Art from Southeast Asia exhibition, organised by The Japan Foundation in 1992 and involving three Indonesian artists. Lately I found out that this particular exhibition was coordinated by Yasuko Furuichi, who I met 22 years later as the coordinator for the curatorial program I am currently participating in. Other landmark on Indonesian art’s contemporary turn at the time was the first Asia Pacific Triennale (1993) in Queensland Art Gallery, Brisbane, Australia, and the Jakarta Biennale IX (1993) in Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

It was during this era that the term ‘independent curator’ first surfaced in Indonesia, spearheaded by Jim Supangkat. In 1992, he decided to quit his work as a full-time artist and lecturer to focus on being an independent curator. After Jim Supangkat, other independen curators emerged. In spite of this, the curatorial practice was not limited to individuals. Institutions such as the Indonesian National Palace, Taman Ismail Marzuki, and the Cemeti Art House, among others, simultaneously impacted the curatorial practice, whilst occasionally eschewing the term ‘curator’ in itself.

With museums in Indonesia few and far between, accentuated by the lack of formal curatorial education at the time, the emergence of new generation Indonesian curators relied heavily on practical working experience with senior curators. As I glanced at the list of curators compiled by Patrick D. Flores in Past Periphery: Curations in Southeast Asia, (2) I can reasonably assume that my generation belongs to the third generation of Indonesia’s curators after Jim Supangkat, who was noticeable in his absence. The list names several eminent curators such as Enin Supriyanto, Asmudjo Irianto, Agung Hujatnika, Aminudin TH Siregar, Farah Wardani, and Ade Darmawan. Flores’ list itself only goes as far as 2004. But should we assume that a generation is measured by a gap of 10 years, we can reasonably place the nascent generation emerging after 2010 as the third generation of curators. A generation that interacts often with the second generation (emerging in early 2000’s).

In the last few years, I tend to observe this generation within the context of artists and curators in Indonesia. There are more young artists than young curators. That much is evident. But over the past few years, new names started popping up in Indonesia’s curatorial scene. This emergence of new curators is also marked by the organisation of curatorial education programs by institutions such as ruangrupa and the Jakarta Arts Council, and formally, the opening of a new course entitled ‘Management and Curatorial Studies’ available for postgraduate students in the Bandung Institute of Technology. Young Indonesian curators are starting to grow in numbers, organising various art projects with their own distinctive artistic tendencies. In 2013, the Cemeti Art House – a major institution in the development of Indonesia’s art – organised a forum for young Indonesian curators, handpicked through their networks in Cemeti and Alia Swastika. (3)

Within this context, it wouldn’t be amiss for me to say that I am now standing in the middle of a curatorial turn in Indonesia. Young curators emerged, curatorial education programs are opened, and young curatorial forums are organized. In the Next Generation Program for Curators of Southeast Asia, I was surprised to hear that the twelve participants will organize their curatorial projects simultaneously. Over the past five years, I’ve never heard of a movement like this. A program involving many young curators, who submitted their individual curatorial ideas, which will then be implemented in real life. Be it through exhibitions, art festivals, or the publication of a book. And all of them will happen almost simultaneously. More importantly, the participants continued to interact with each other after the program. In fact, some of them collaborated with each other outside of this program.

The Next Generation Program for Curators of Southeast Asia program I participated in is the first of its kind by The Japan Foundation. From start to finish, the program lasted for a year – starting in February 2014, and ending in February 2015. Enough time to prepare a curatorial project, and perfectly timed to coincide with 2015’s regional political and economic development. So far, I’ve yet to hear word of this program happening for a second time. It’s unclear whether this program will be conducted yearly, every two years, or only once before the 2020 Tokyo Olympics. In my opinion, the importance of this program lies in the exchange of knowledge and network between the young curators and artists of Southeast Asia and Japan. After the program’s conclusion, the participants are well set to collaborate and work together with everyone they met during this program. However, I feel that we can only measure the success of this program after the emergence of the next generation of curators. And only then, will the intensity and consistency of this program’s participants be fully tested.

×

Jakarta, January 2015.

 

Notes:

(1) Agung Hujatnika, “Indonesian Contemporary Art in the International Arena: Representation and Its Changes” dalam http://www.globalartmuseum.de/site/ guest_author/238

(2) Patrick D. Flores, “Past Perphery: Curation in Southeast Asia” dalam Reflections on the Human Condition: Change, Conflict and Modernity. The Work of the 2004/2005 API Fellows.

(3) Further reading: http://jogjanews.com/ini-nama-16-kurator-peserta-forum- kurator-muda-rumah-seni-cemeti

Apinan dan Slippery Lubricants

Slippery lubricants merupakan istilah yang digunakan oleh Apinan Poshyananda untuk praktik penggunaan seni sebagai alat pelicin mekanisme politik yang dilakukan oleh sebuah negara. Pada mulanya, Apinan melihat fenomena ini justru muncul dengan menggunakan olahraga sebagai ‘pelumas’ dan katalisator untuk mempromosikan hubungan luar negeri suatu negara melalui penyelengaraan Olimpiade. Peta politik dunia berubah drastis paska berakhirnya perang dingin di penghujung tahun 1980-an. Meningkatnya penanaman modal di negara-nerga Asia dan merosotnya ekonomi dunia Barat juga menghantam sistem pasar seni yang juga mempengaruhi para senimannya. Pada masa itu, beberapa kebijakan negara-negara di Asia Pasifik mengarah pada pencegahan konflik-konflik militer dan semakin mempererat ikatan dalam bidang perdagangan dan pengembangan ekonomi, sebagai negara ‘dunia ketiga.’ Dalam kasus slippery lubricants ini, peran pemerintah sebagai penyelenggara praktik seni tersebut ditandai dengan munculnya berbagai penelenggaraan pameran besar di wilayah ini seperti beragam bienal, trienal, dan pameran keliling yang menampilkan karya-karya dari sebuah negara tertentu. Kecenderungan tema yang diangkat ialah mengenai marjinalisasi, pascakolonialitas, identitas, minoritas dan otherness.

Pada awalnya, penyelenggaraan seni yang dilaksanakan masih memperlihatkan Asia sebagai sesuatu yang lain dari kacamata orang kulit putih seperti pada pameran The Integrative Art of Modern Thailand yang diselenggarakan di Amerika Serikat. Dengan mengangkat tema Budhisme, kehidupan sehari-hari, alam dan pencarian identitas, pameran ini tidak diragukan lagi merupakan upaya pengenalan seni rupa kontemporer Thailand ke dalam perspektif orang Amerika. Beberapa pameran setelahnya masih menampilkan kecenderungan serupa dengan tema persilangan budaya antara warga keturunan (Asia atau Afrika) dan persinggunganya dengan dunia Barat, atau di antara budaya negara dunia pertama dan negara dunia ketiga.

Pada awal abad ke-21 (telah dimulai sejak berakhirnya Perang Dingin), mekanisme slippery lubricants setidaknya saya lihat memiliki tiga kecenderungan. Pertama ialah adanya konsolidasi ‘warga Asia’ yang mencoba menghilangakan batas-batas negara melalui penyelenggaraan pameran berskala besar oleh negara Asia yang lebih maju seperti Jepang dan Korea Selatan. Kedua, ada upaya pendekatan yang semakin gencar oleh Australia untuk lebih dekat dengan negara-negara di Asia. Problematika mereka lebih jelas karena secara kultural, Australia (dan Selandia Baru) merupakan negara yang berada di bawah kerajaan Britania Raya, dengan kebijakan politik yang sangat pro Inggris dan Amerika Serikat, namun mereka berada di wilayah yang sangat dekat dengan Asia. Ketiga ialah praktik yang dilakukan oleh sesama negara dunia ketiga, dalam hal ini di Asia Tenggara, yang berada di bawah nama ASEAN bahkan lebih spesifik di beberapa wilayah seperti indochina.

Pada yang pertama, bisa diambil contoh yang sangat jelas dari apa program-program yang diselenggarakan oleh The Japan Foundation. Keseriusan mereka dalam membina hubungan dengan negara-negara di Asia Tenggara tercermin dari beberapa proyek riset kesenian, pameran, residensi dan hibah yang mereka berikan kepada seniman-seniman dan para kurator di wilayah ini. Ada kesan bahwa anggapan sebagai ‘saudara tua’ di negara Asia masih melekat pada negara seperti Korea Selatan dan Jepang terhadap negara-negara di Asia Tenggara. Beberapa contohnya ialah penyelenggaraan Fukuoka Asian Art Triennale, di Fukuoka Asian Art Museum, Jepang. Serta ‘86 Seoul Contemporary Asian Art Show’ di Korea Selatan.

Pada kecenderungan kedua, Asia-Pacific Triennale bisa menjadi contoh bagaimana Australia mencoba mendekatkan diri dengan negara-negara di Asia Pasifik. Terutama dengan Indonesia, hubungan dengan Australia sempat memanas setelah tragedi 11 September dan dua bom Bali yang menewaskan banyak warga negara Australia. Melalui Asia-Pasifik Triennale, Australia memberikan penekanan pada hubungan yang setara antara negara-negara di Asia Pasifik, dan Asia mereka anggap sebagai tempat di mana Australia memapankan identitasnya.

Dalam kecenderungan terakhir, upaya menggunakan seni sebagai ‘pelumas licin’ kepentingan politik pemerintah tercermin dalam kerjasama yang dilakukan berbagai negara Asia Tenggara di bidang budaya. Salah satu contoh ialah penyelenggaraan ASEAN Youth Camp yang diselenggarakan setiap tahun dengan peserta seniman muda (seni rupa, seni pertunjukan dan seni pertunjukan) dari negara-negara anggota ASEAN. Singapura yang merupakan negara termuda di ASEAN melalui Dewan Kesenian Nasional-nya memutuskan untuk menjadi pusat kesenian global sejak 1999. Salah satu program mereka ialah Singapore Biennale yang banyak menampilkan karya dari seniman-seniman dari wilayah Asia dan mekanisme pengkoleksian karya-karya yang dianggap penting khususnya di wilayah ASEAN.

×

Jakarta, Desember 2014. 

 

Sumber:

Agung Hujatnika, “Indonesian Contemporary Art in the International Arena: Representation and Its Changes” dalam http://www.globalartmuseum.de/site/guest_author/238 diakses pada Kamis, 11 Desember 2014. 14.05 WIB.

Apinan Poshyananda, “The Future: Post-Cold War, Postmodernism, Postmarginalia (Playing with Slippery Lubricants)

Patrick D. Flores, “Past Perphery: Curation in Southeast Asia” dalam Ref lections on the Human Condition: Change, Conflict and Modernity. The Work of the 2004/2005 API Fellows.

Seni Rupa Indonesia dalam Tikungan Kuratorial dan Kontemporer

Curatorial Turn atau tikungan kuratorial di Indonesia terjadi pada awal tahun 1990-an dengan gejala utama dipengaruhi oleh dua penyelenggaraan pameran besar Asia Pacific Triennale dan Biennale Jakarta IX pada 1993. Sementara itu, Contemporary Turn atau tikungan kontemporer dalam seni rupa Indonesia dimulai sejak 1975 dengan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia sebagai awal mula praktik seni rupa kontemporer di Indonesia. Berakhirnya Perang Dingin dengan runtuhnya kekuatan komunis dan sosialis Uni Soviet berdampak pada seluruh penjuru dunia termasuk pada negara-negara non-blok seperti Indonesia dengan munculnya gejala globalisasi. Krisis di beberapa negara menyebabkan beberapa negara mulai mengalihkan fokus mereka pada negara-negara dunia ketiga seperti yang berada di Asia Tenggara. Salah satu yang paling gencar ialah Jepang dan Australia yang mulai memunculkan isu seni rupa regional dengan menyelenggarakan pameran-pameran Asia, Asi Tenggara, dan Asia-Pasifik. Dampak dari fenomena ini ialah lahirnya kesadaran multeity (keberagaman) pada globalism yang menggantikan internationalism yang percaya pada homogeneity. Tanda penting dari gejala ini ialah diadakannya pameran New Art from Southeast Asia yang diselenggarakan Japan Foundation pada 1992 yang melibatkan tiga seniman Indonesia. Namun yang lebih signifikan ialah penyelenggeraan Asia Pacific Triennale pertama pada 1993 di Queensland Art Gallery, Brisbane, Australia, dan Jakarta Biennale IX pada akhir 1993 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kedua penyelenggaraan pameran besar ini bisa dikatakan sebagai Contemporary Turn dalam seni rupa Indonesia paska berakhirnya Perang Dingin yang tak lepas dari peran Jim Supangkat yang mengawali Curatorial Turn di Indonesia setelah penyelenggaraan dua pameran besar tersebut. Pada 1992 Jim Supangkat diundang dalam pertemuan regional ARX di Perth sebagai jaringan kurator sebelum diadakannya 1st Asia Pacific Triennale di tahun berikutnya. Pemikiran-pemikiran dalam bingkai post-strukturalis/post-modernism banyak dibahas dalam pertemuan itu sebagai upaya untuk memformulasikan cara pandang baru terhadap praktik seni rupa kontemporer di Indonesia. Pemikiran ini berlanjut pada Biennale Jakarta IX ketika Jim Supangkat menjadi kurator dan membuat bingkai kuratorial yang bertujuan manampilkan karya-karya yang dilihat bisa menunjukan tanda-tanda munculnya seni rupa kontemporer di Indonesia. Beberapa seniman yang sebelumnya berpartisipasi di 1st Asia Pacific Triennale juga ikut serta dalam Biennale Jakarta IX seperti FX Harsono, Arahmaiani, Krisna Murti, Agus Suwage, dan Heri Dono.

Gejala-gejala yang mengiringi Contemporary Turn di seni rupa kontemporer tersebut berpengaruh pada Curatorial Turn yang dimulai oleh Jim Supangkat. Pada tahun 1992 ia memutuskan untuk berhenti menjadi seniman dan pengajar, untuk menjadi kurator independen secara penuh. Generasi kurator setelahnya kemudian muncul dengan pola yang bermula sebagai asisten kurator yang lebih senior. Beberapa nama mulia bermunculan pada tahun 1990-an seperti Enin Supriyanto, Asmudjo Irianto, Asikin Hasan, Rizki Zaelani, Hendro Wiyanto dan lainnya. Generasi awal 2000-an muncul sebagai dampak dari jaringan internasional dan pola sebagai asisten dari seniornya tadi. Pada masa ini muncul nama-nama kurator muda seperti Agung Hujatnikajennong, Aminudin TH Siregar, Ade Darmawan, Farah Wardani, Kuss Indarto, Alia Swatika, dan lainnya yang dalam data Patrick Flores pada 2004 berjumlah 35 orang. Jumlah tersebut tentu telah berlipat hingga saat ini, atau 10 tahun setelahnya, dengan berbagai macam pengaruh dari munculnya pendidikan non-formal kekuratoran yang diselenggarakan oleh ruang-ruang alternatif, workshop kekuratoran, residensi, hingga munculnya studi kekuratoran dalam perguruan tinggi seni rupa di Indonesia.

×

Jakarta, Desember 2014. 

 

Sumber:

Jim Supangkat, “Growing Pains; Contemporary Art in Indonesia 1990 – 2010” Tulisan ini versi Bahasa Indonesia artikel dengan judul sama yang akan dimuat pada edisi majalah Artlink, Australia yang masih disiapkan. Merupakan bagian dari special report dengan tema, ‘Perkembangan seni rupa kontemporer di Asia dalam 20 tahun terakhir.’ Diakses dari https://gerakgeraksenirupa.wordpress.com/2013/05/19/growing-pains-contemporary-art-in-indonesia-1990-2010/ pada Kamis, 11 Desember 2014. 13.15 WIB.

Agung Hujatnika, “Indonesian Contemporary Art in the International Arena: Representation and Its Changes” dalam http://www.globalartmuseum.de/site/guest_author/238 diakses pada Kamis, 11 Desember 2014. 14.05 WIB.

Patrick D. Flores, “Past Perphery: Curation in Southeast Asia” dalam Ref lections on the Human Condition: Change, Conflict and Modernity. The Work of the 2004/2005 API Fellows.

CV Jim Supangkat di http://www.globalartmuseum.de/site/person/222 diakses pada Kamis, 11 Desember 2014. 15.25 WIB.

Profil 1st Asia Pacific Triennale di situs resmi mereka, http://www.qagoma.qld.gov.au/exhibitions/apt/apt_1_(1993) diakses pada Kamis, 11 Desember 2014. 15.40 WIB.

Melihat Sejarah Kekuratoran melalui Sejarah Ruang Pamer

Meskipun pada mulanya tidak secara resmi memiliki seorang kurator, sejarah ruang dan sejarah pameran di seni rupa Indonesia sesungguhnya telah melakukan praktik yang dilakukan kurator saat ini, seperti perawatan koleksi karya seni, penyelenggaraan sebuah pameran, pemilihan seniman, dan lain sebagainya. Sebelum fenomena contemporary turn dan muculnya kurator di seni rupa Indonesia pada awal tahun 1990-an, sejarah kekuratoran bisa dilacak melalui ruang dan pameran yang telah ada sebelum Indonesia merdeka. Salah satu yang pertama ialah Bataviasche Kunstkring di Jakarta yang beroperasi mulai 1938, beberapa pameran yang diselenggarakan di sana dikuratori oleh De Lux Hasmam yang merupakan direktur Bataviasche Kunstkring pada saat itu. Bataviache Kunstkring merupakan salah satu model ruang yang dikelola oleh pemerintah selain Istana Negara, dan Dewan Kesenian Jakarta. Pada kasus Istana Negara, peran seorang kurator dilaksanakan oleh Dullah, seorang pelukis, yang ditunjuk langsung oleh Soekarno sebagai perawat koleksi karya seni di Istana Negara dan sebagai penasehat presiden dalam urusan yang berkaitan dengan karya-karya koleksi istana negara.

Selain Istana Negara sebagai ruang, peran Soekarno sebagai patron seni pada masa itu memberikan pengaruh yang besar pada kehidupan seni rupa dan seniman pada masa itu. Beberapa terbitan buku koleksi Soekarno telah diterbitkan dan salah satunya disunting oleh Dullah sendiri. Dewan Kesenian Jakarta memiliki peran yang cukup vital dalam perkembangan seni rupa Indonesia setelah ia didirikan. Berbagai peristiwa dan gerakan penting seni rupa di Indonesia terjadi di tempat ini, seperti Pameran Besar Seni Lukis Indonesia, peristiwa Desember Hitam, Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia, dan Biennale Jakarta IX. Dewan Kesenian Jakarta dibentuk oleh Gubernur Jakarta sebagai partener dan penasehat kebijakan pemerintah DKI Jakarta yang berkaitan dengan bidang kesenian. Di dalamnya terdapat enam komite seperti Komite Seni Rupa, Film, Teater, Seni Tari, Sastra dan Seni Musik. Salah satu peran Komite Seni Rupa ialah mengelola penyelenggaraan pameran seni rupa yang diselenggarakan di Galeri Cipta II dan Galeri Cipta III. Meskipun tanpa seorang kurator, namun praktik kuratorial di kedua galeri tersebut terus dilakukan oleh Komite Seni Rupa setiap tahunnya.

Boom seni lukis sebagai dampak dari ‘seni pesanan Pertamina’ menyebabkan semakin menjamurnya ruang-ruang lain yaitu galeri swasta terutama di Ibukota Jakarta. Galeri Hadiprana, Edwin Gallery, Monn Decor mulai aktif menyelenggarakan pameran seni rupa meskipun dengan tujuan utama pertukaran nilai ekonomi karya-karya yang dipamerkan. Di akhir tahun 1990-an mulai bermunculan museum swasta yang dibangun oleh para kolektor seni seperti OHD Museum pada 1997 dan Akili Museum of Art pada 2006. Model lainnya ialah museum yang dibangun oleh seniman-seniman maestro Indonesia, sebagai tempat pemajangan karya mereka yang biasanya di kelola oleh keluarga seniman tersebut, seperti Museum Affandi, Museum Barli, Museum Basuki Abdullah, Museum Lempad, Museum Blanco Rennaisance (Antonio Blanco), dan Museum Le Mayeur. Salah satu model ruang yang lebih terbuka untuk umum bisa dilihat dari Selasar Sunaryo di Bandung, yang tidak hanya berisi karya-karya Sunaryo, namun memiliki skema kuratorial dan program yang terorganisir dengan sangat baik.

Model ruang lainnya ialah ruang-ruang alternatif atau alternative spaces sebagai ruang serba guna yang didirikan oleh kelompok seniman. Dalam sebuah ruang alternatif, ruang bisa berfungsi sebagai laboratorium, kantor dan tempat pameran. Umumnya ruang alternatif berawal dari sebuah rumah sewaan, yang dimanfaatkan untuk kegiatan berkesenian sesama seniman dan komunitasnya. Beberapa contoh ruang alternatif ialah Decenta di Bandung (1980-an), Rumah Seni Cemeti di Yogyakarta (1988-sekarang) dan ruangrupa (2000-sekarang) di Jakarta. Sebagai sebuah organisasi kelompok seniman, praktik kekuratoran yang mereka laksanakan tidak jarang juga menghadirkan kurator dari luar ruangrupa, seperti untuk penyelenggaraan festival dua tahunan OK. Video: International Video Festival. Meskipun banyak program yang dijalankan, praktik pengkuratoran yang mereka lakukan tidak akan terlepas dari gagasan keterikatan mereka terhadap budaya perkotaan, lintas keilmuan dan seni kontemporer. Di Rumah Seni Cemeti, Mella Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo merupakan kedua pendiri dan seniman yang tidak pernah mau disebut sebagai kurator. Sejak awal pendirian tempat ini, beberapa seniman seperti Anusapati, Heri Dono dan FX Harsono, Eddie Hara dan Dadang Cristanto hampir selalu mengisi setiap pameran yang dilaksanakan. Hingga pada perkembangan terakhirnya Rumah Seni Cemeti saat ini juga banyak menyelenggarakan pertukaran seniman, residensi, dan lokakarya untuk kurator muda, selain secara rutin menyelenggarakan pameran seni rupa kontemporer.

 ×

Jakarta, Desember 2014.