Sebagai Peserta de Appel Curatorial Programme 2015-16 (selanjutnya saya sebut de Appel CP), saya dan beberapa partisipan lainnya diharuskan membuat sebuah proyek seni atau pameran seni rupa. Setiap tahunnya de Appel arts center (selanjutnya saya tulis de Appel) memilih enam partisipan dari seluruh dunia, untuk menyelenggarakan sebuah pelatihan kurator lintas negara dengan fokus pada praktik seni rupa kontemporer internasional. Program ini telah diselenggarakan sejak 1994 dengan inisiatif dari Saskia Bos, Direktur de Appel pada masa itu.
Pengajuan proposal proyek pameran merupakan persyaratan pertama yang harus dilengkapi oleh para calon partisipan. de Appel menerima lebih dari lima puluh, bahkan bisa mencapai seratus lebih aplikasi secara keseluruhan setiap tahunnya. Pada tahap pertama, mereka membaca proposal dan menyeleksi dua belas di antaranya untuk maju ke tahap seleksi wawancara. Pada tahap selanjutnya, beberapa juri internasional diundang untuk menentukan enam kurator terpilih sebagai partisipan de Appel CP. Pada kedua proses seleksi inilah, kemampuan calon peserta, pengalaman dan visi misi mereka diuji; sebagai dasar pemilihan yang dilakukan oleh para juri tersebut. Pertimbangan lainnya ialah komposisi dalam grup yang memungkinkan interaksi dan berbagi pengetahuan setiap partisipannya; dengan ini biasanya de Appel memilih komposisi yang beragam baik dari sisi pengalaman maupun latar belakang bidang keilmuan yang ditekuni oleh para calon partisipan. Pada tahun 2015-16 ini, terdapat partisipan dari latar belakang Arsitektur, Filsafat, Sejarah Seni, Ilmu Politik dan dua di antaranya memiliki latar belakang seniman. Masing-masing dari mereka berasal dari Helsinki, Jakarta, Kiev, Nairobi, Napoli, dan Vienna. Salah satu orang calon peserta dari Teheran mengundurkan diri dan harus digantikan oleh calon peserta lainnya, pada tahun ini tidak terdapat peserta tuan rumah dari negeri Belanda.
You Must Make Your Death Public adalah judul proyek akhir yang saya kerjakan bersama Jussi Koitela (Helsinki) dan Renée Mboya (Nairobi) sebagai bagian akhir dari de Appel CP 2015-16 ini. Pemilihan judul ini terinspirasi oleh sebuah judul buku berisi kumpulan tulisan mengenai karya-karya Chris Kraus. Hal yang menginspirasi dari judul ini ialah bagaimana mereka menyusun sebuah karya berdasarkan profil satu subyek sebagai sumber utama; yang lebih kurangnya kami praktikan dalam penyusunan proyek akhir ini.
Dengan proses persiapan yang tidak lebih dari empat bulan, proyek pameran ini dibuka pada 22 April hingga 12 Juni 2016. Pada mulanya kami mulai menyususn rencana proyek akhir ini bersama keenam partisipan secara keseluruhan. Kerja kolektif yang kita mulai sejak September 2015 berakhir pada Januari 2016 dengan terpecahnya grup menjadi dua bagian. Oleh karena itu pada tahun 2015-16, de Appel CP memiliki dua proyek akhir yang diinisiasi oleh masing-masing tiga kurator di dalamnya. Alasan perpecahanpun beragam mulai dari konflik internal, masalah komunikasi, dan yang paling menentukan ialah adanya perbedaan sikap dan pandangan politis yang melatar belakangi keputusan-keputusan yang harus diambil. Dalam beberapa kesempatan saya merasa bahwa hal lain yang menjadi pemicu ialah perbedaan cara kerja dan pemahaman mendasar mengenai apa itu kerja kuratorial, apa itu pameran seni rupa dan bagaimana memposisikannya di tengah publik. Disadari maupun tidak, ini adalah konsekuensi logis dari sebuah praktik collective curating yang diharapakan terjadi di dalam program ini. Dalam beberapa kesempatan, tidak sedikit para praktisi yang kita jumpai menilai ini merupakan hal yang sangat sulit dilakukan, jika bukan mustahil. Tentu ini bukanlah hal yang baru bagi sebagian dari kita untuk bekerja bersama, seperti yang pernah saya lakukan bersama Curators Lab untuk Jakarta Biennale misalnya, namun faktor-faktor di atas terlalu kuat memicu konflik seiring berjalannya watku persiapan yang semakin menyempit.
You Must Make Your Death Public adalah sebuah upaya kritis menghadirkan tema ‘krisis’ yang sedang terjadi di dalam institusi dan masyarakat kontemporer. Salah satu pemicu munculnya ide ini tidak lain adalah krisis institusi yang terjadi di de Appel setelah dewan institusi memecat direktur mereka Lorenzo Benedetti pada September 2015. Lorenzo membawa kasus ini ke pengadilan dan beberpaa kali persidanganpun diselenggarakan; hingga akhirnya pada Mei 2016 semua anggota dewan institusi mengundurkan diri setelah mendapat hasil negatif dari pre-advise subsidi Dewan Kebudayaan Belanda untuk de Appel. Ini berarti lampu merah bagi de Appel jika hasil dari pre-advice ini menjadi keputusan akhir, mereka akan kehilangan hampir 60% pendanaan mereka untuk 2017-2020.
Pada masa-masa setelah dipecatnya Lorenzo Benedetti, secara otomatis kami sebagai partisipan de Appel CP harus berjalan tanpa pimpinan institusi. Dalam riuh rendah dan bergulirnya kasus ini, kami mengorganisasikan diri sendiri dengan dibantu oleh koordinator program yang juga menanggung tugas berat dengan absennya Direktur. Krisis ini, dalam pengamatan kami, terjadi sebagai ekses dari Krisis Eropa (dengan huruf kapital K) yang terjadi pada 2008. Sebagai akibatnya, beberapa negara termasuk Kerajaan Belanda menjalankan program austerity atau pengurangan alokasi dana publik terutama untuk sektor kebudayaan. Peristiwa ini lebih sering juga disebut sebagai istilah budget cut yang dampaknya bahkan bisa terasa di negara-negara berkembang yang sering mendapat bantuan dana dari negara dua pertama. Fenomena ini tidak hanya terjadi di negeri Belanda, sejumlah institusi seni mengalami hal serupa. Beberapa fenomena ini tercatat dengan lebih jelas dalam pengamatan Minna Henriksson dalam pemetaan yang ia gambar sebagai bagian dari publikasi yang kami terbitkan berikut ini:
Dalam diskusi-diskusi awal pembentukan gagasan, perbincangan banyak mengarah pada fenomena krisis-krisis di sekitar kami dalam konteks Eropa dan yang sedang terjadi saat itu seperti melonjaknya angka pengungsi ke Eropa yang berasal dari daerah konflik seperti Timur Tengah, Levant dan Afrika. Bermula dari permasalahan krisis institusi, kami melihat perlunya penelaahan sejarah untuk memulai membangun kerangka berpikir. Dalam pencarian tersebut, kami berkesimpulan bahwa institusi seni telah memiliki krisisnya sendiri sejak ia dilahirkan paska Revolusi Industri, yang dibentuk sebagai institusi bagi kalangan borjuis pada masa itu. Sifatnya yang inklusif ialah warisan yang masih bisa dirasakan hingga saat ini, di belahan dunia manapun yang terkadang membentuk tatanan-tatanan oligarki kesenian yang berjarak jauh dari masyarakat umum. Krisis kedua ialah berkaitan dengan pengaruh sistem neo-liberal dan intervensinya pada bidang-bidang kehidupan masyarakat kontemporer, hilangnya subyektifitas, hingga situasi kesenian dalam masa Post-Fordism dan Post-Welfare State. Proyek ini kemudian kita kembangkan ke persoalan yang lebih besar dalam memahami isu krisis yang terjadi di masyarakat kontemporer seperti diuraikan sebelumnya, bukan hanya dalam lingkup dunia seni dan institusinya. Perlu digarisbawahi, bahwa kritik terhadap institusi ini sama sekali tidak berkaitan dengan gagasan Institutional Critique yang dalam sejarah perkembangan seni rupa memiliki sistematikanya sendiri.
Dengan berpijak pada krisis yang terjadi di de Appel, upaya-upaya untuk membaca krisis dilakukan dengan mengundang 29 kontributor dalam proyek ini. Semua kontributor memiliki perannya masing-masing dalam proyek yang dilakukan dalam tiga bagian utama: proyek pameran, publikasi, dan program publik. Pemilihan nama kontributor, memungkinkan kita mendapatkan pemahaman setara antara seniman, aktivis, akademisi, kurator, peneliti, penulis, dan lain sebagainnya yang terlibat dalam proyek ini. Akan terlihat tidak adil jika menggarisbawahi seniman sebagai aktor utama dalam penyelenggaraan ini. Ini juga yang membuat kami sebagai kurator lebih memilih menyebut diri kami sebagai inisiator dalam publikasi yang kita terbitkan. Terasa kecil dalam pergantian penamaannya, namun berarti banyak dalam pemaknaannya. Unsur-unsur retorik ini menjadi salah satu bagian yang kami eksplorasi untuk memikirkan dan mempertanyakan kembali peran dan relasi antar individu dalam sebuah proses pembuatan pameran.
You Must Make Your Death Public diselenggarakan di lantai dasar de Appel arts center, Prins Hendrikkade 142, Amsterdam. Empat seniman berkontribusi pada ruang-ruang pamer tersebut, yang kami sebut juga sebagai artistic interventions. Keempatnya ialah Nicoline van Harskamp, Minna Henriksson, Irwan Ahmett dan Tita Salina (grup seniman) serta Philipp Gufler.
Keempat seniman ini memiliki kompleksitas karyanya masing-masing. Karya Nicoline van Harskamp ialah rekaman film pendek dari proses penerjemahan konsep kuratorial You Must Make Your Death Public ke dalam bahasa Esperanto; setelah Nicoline, kami para kurator, beberapa melakukan les singkat bahasa Esperanto. Proses penerjemahan ini didampingi seorang ahli bahasa dan Esperantis bernama Leston Buell.
Intervensi Irwan Ahmett dan Tita Salina dilakukan dengan berkolaborasi bersama Indonesian Migrant Wokers Union Netherlands (IMWU). Sebuah performance yang dilakukan oleh para pekerja migran Indonesia yang tidak berdokumen (baca: ilegal) di dalam gedung de Appel. Irwan dan Tita menyusun performance ini berkaitan dengan film Dispereert Niet yang mereka buat sebelumnya, dan mengaitkan aksi secara konseptual sebagai upaya ‘pembersihan’ institusi bernama de Appel. Dengan absennya Irwan dan Tita secara fisik di dalam waktu penyelenggaraannya, performance ini terlaksana dengan bantuan dari dua seniman asal Rotterdam, Eva Olthof dan Reinaart Vanhoe.
Philipp Gufler menampilkan instalasi-instalasi yang bersinergi dengan beberapa program publik yang ia buat berkaitan dengan risetnya terhadap seniman performance art Ben D’Armagnac (Amsterdam, 1940-1978) dan Rabe Prepexlum (München, 1956-1996). Karya-karyanya merupakan dua seri berbeda, namun memiliki kesaaman dalam metode penggunaan arsip dan riset artistik pada keduanya. Khusus dalam karyanya yang berkaitan dengan kehidupan dan kematian Ben D’Armagnac berjudul “Een gebeuren,” Philipp mendapat bantuan dari penulis Louwrien Wijers sebagai narasumber, ia merupakan teman dekat Ben semasa hidupnya.
Karya Minna Henriksson ialah hasil observasi dia terhadap isu krisis institusi di de Appel yang melibatkan beberapa pihak: Direktur, para Tutor, anggota Dewan, para pekerja di de Appel, Artist Support Group, hingga para partisipan de Appel CP. Informasi-informasi tersebut didapatkannya dari berbagai medium: melalui wawancara langsung dengan pihak-pihak yang terlibat, pencarian informasi di kanal-kanal berita daring, hingga kabar burung yang disebarkan melalui media sosial. Cetakan gambar yang diperbesar ini disusun sebagai mind mapping, ditempelkan di dinding-dinding ruang pameran dengan teknik penempelan layaknya karya wheatpaste dalam dunia street art. Pada karya Minna inilah titik mula gagasan pameran ini diletakkan –dari krisis institusi di de Appel– dan kemudian diarahkan ke isu krisis yang lebih luas lagi, seperti krisis kesetaraan gender, krisis ketenagakerjaan, kependudukan, politik bahasa, institusi, dan lain sebagainya.
Program publik yang disusun dalam proyek ini dilakukan di ruangan paling depan, dan juga paling besar di lantai bawah de Appel arts center, Prins Hendrikkade 142. Selain menyelenggarakan program seperti pada acara pameran pada umumnya, beberapa hal kami tekankan sebagai landasan berpikir. Pada praktiknya, dengan acara yang dinamakan Co-Speaking Programme ini, hal paling penting ialah sebagai upaya membangun solidaritas kepada pihak-pihak yang bergulat dengan krisis di masyarakat kontemporer. Sebagai ruang, tempat penyelenggaraan program publik ini disebut sebagai Co-speaking Platform. Co-Speaking berarti ‘berbicara bersama,’ untuk beranjak dari ‘berbicara tentang’ yang mempunyai jarak antara subyek yang mengalami dan membicarakannya. Gagasan ini terinspirasi dari sebuah tulisan percakapan antara Trinh T. Minh-ha bersama Nancy N. Chen berjudul Speaking Nearby, yang pada praktiknya berusaha kami terapkan dalam proyek ini. Tidaklah mudah untuk membuka ruang kepada orang lain, baik grup atau perseorangan untuk membuka diskusi di ruangan de Appel yang telah memiliki ‘penontonnya senidiri.’ Dalam ruang yang didominasi oleh orang kulit putih, kami mencoba mengundang beberapa kelompok yang tidak akrab dengan de Appel sebagai institusi. Percobaan ini memang pada praktiknya tidak sepenuhnya berhasil, namun beberpa di antaranya terlaksana dengan sangat luar biasa. Total 10 acara publik diselenggarakan di dalam kurun waktu enam bulan periode pameran berlangsung, dalam format pemutaran film, diskusi, presentasi riset, wawancara, dan performance. Keterangan lebih rinci mengenai program publik ini bisa dilihat pada tautan ini.
Publikasi ialah hal terakhir yang akan saya ceritakan dalam tulisan ini. Secara teknis, tantangan penerbitan publikasi ini cukup besar karena kami sebagai inisiator menginginkan publikasi ini terbit cetak sebelum pameran dibuka. Dengan kerja keras dari semua pihak, terutama Syennie Valeria perancang grafis dan tata letak untuk publikasi ini, akhirnya publikasi ini selesai dicetak di Jakarta dan dikirimkan ke Amsterdam sebelum pembukaan pameran dilaksanakan. Publikasi ini diberi judul persis seperti judul proyek secara keseluruhan, You Must Make Your Death Public. Kontributor dalam publikasi ini terdiri dari Minna Henriksson, Nicoline van Harskamp, Lian Ladia, Yasmine Soraya, Buyung Ridwan Tanjung, Philipp Gufler, Platform BK, dan kami sendiri sebagai inisiator proyek pameran. Bahasa dan penerjemahan merupakan salah satu hal yang sering menjadi bagian penting dalam proses kami menyusun proyek ini. Sebagai contoh, setiap hari komunikasi dilakukan dengan bahasa Inggris, yang sama sekali bukan bahasa Ibu kami. Kesalahan-kesalahan komunikasi dan penerjemahan lumrah terjadi, baik dalam bahasa lisan maupun tulisan. Pada kegiatan sehari-harinya, kita dihadapkan dengan bahasa Belanda, dan lebih fokus lagi, berada di dunia seni rupa kontemporer yang punya ‘bahasanya sendiri.’ Inilah yang membuat kami memutuskan memperlihatkan kompleksitas bahasa ini lebih muncul dalam You Must Make Your Death Public baik dalam publikasi maupun program publik. Dalam publikasi yang diterbitkan, terdapat teks-teks dalam bahasa Inggris, Belanda, Indonesia, dan Jerman; disesuaikan dengan subyek yang dibahas pada tiap-tiap isi publikasi. Secara utuh, versi digital dari publikasi ini bisa dilihat di sini.
Tanggapan terhadap proyek ini bisa dikatakan cukup beragam. Beberapa pihak menilai positif dalam sisi penyelenggaraan program publik yang berkelanjutan hingga akhir periode pameran; meskipun beberapa anggota staf dan dewan de Appel sempat terganggu dengan karya Minna Henriksson yang secara terbuka menampilkan isu krisis di dalam tubuh institusi de Appel. Beberapa liputan media nasional Belanda seperti NRC, Metropolis M menuliskannya dalam bentuk ulasan yang lebih bersifat umum. Bagian paling menarik ialah membaca ulasan de Volkskrant yang tidak terlalu positif dalam melihat proyek ini, namun mereka mampu membaca dengan tajam gagasan yang kami susun. Dengan detail mereka mengkritisi penyelenggaraan Co-Speaking Programme yang terdengar samar-samar dan tidak membuat menarik pengunjung (Dat klinkt reuzevaag en uitnodigend) dengan menyebutnya Anarchistische willekeur atau keserampangan yang anarkis. Dengan tanggapan tersebut, pada beberapa titik kami merasa berhasil mengusik kemapanan posisi de Appel sebagai institusi seni: dengan memaknai kembali, mempertanyakan dan menampilkannya ke hadapan publik.
×
Amsterdam, Juli 2016.