Buku-buku di 2018

Di akhir 2017, saya mencoba Spotify wrapped untuk meninjau kembali musik-musik apa saja yang didengarkan di aplikasi tersebut selama satu tahun. Saya kemudian berpikir, mungkin menarik jika hal yang sama bisa juga dilakukan untuk buku-buku yang dibaca sepanjang. Namun sayangnya, sejauh yang saya ketahui, belum ada media atau aplikasi yang secara otomatis bisa melakukan hal ini. Untuk itulah, di awal 2018 saya memutuskan untuk mulai mencatat buku apa saja yang selesai saya baca selama satu tahun. Upaya ini adalah yang pertama kalinya saya lakukan. Hasilnya hingga akhir 2018, sebanyak 72 buku telah selesai saya baca. Sekali lagi, daftar tersebut ialah buku-buku yang selesai dibaca, mengingat beberapa buku tidak sanggup saya baca hingga selesai karena terlalu membosankan atau ada buku lain yang membuat saya akhirnya berpaling.

Dalam susunan acak, beberapa buku yang paling menginspirasi dan sangat saya rekomendasikan untuk dibaca ialah:

  1. We Want Everything/Vogliamo Tutto (Nanni Balestrini, 1971/2016) — Meski pusat ceritanya mengisahkan soal perjuangan pekerja pabrik FIAT di Turin dengan serangkaian pemogokan, dalam buku klasik ini Nanni Balestrini juga memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang lebih jauh dalam konteks masyarakat Italia. Misalnya bagaimana diskriminasi berbasis wilayah terjadi di Italia; antara orang-orang kaya di bagian wilayah utara, dan kemiskinan di selatan. Hubungan pekerja dan pemilik alat produksi melampaui jauh dari soal ekonomi semata.
  2. Building the Commune: Radical Democracy in Venezuela (George Ciccariello-Maher, 2016) — Hal yang paling menarik dalam buku ini bagi saya ialah bagaimana langkah Chavez merevolusi Venezuela dari akarnya, dengan mengubah konstitusi dasar negara tersebut. Sayangnya 2018 ialah tahun yang ditandai keterpurukan ekonomi Venezuela; mulai dari inflasi yang sangat tinggi, keterbatasan makanan, tenaga listrik hingga peralatan medis yang menyebabkan banyak penduduknya terpaksa meninggalkan negeri ini.
  3. The Rojava Revolution: a small key can open a large door (Strangers In A Tangled Wilderness, ed., 2015) — Meskipun tidak bisa dikatakan kompersensif, namun buku ini mampu memberikan gambaran yang cukup untuk memahami perjuangan masyarakat Kurdi di Rojava. Melalui kumpulan esai dalam buku ini, dijelaskan pula bagaimana eksperimen demokrasi langsung yang dilandasi pemikiran-pemikiran anarkisme, sosialisme libertarioan, feminisme dan eko-sosialisme dipraktikan. Selain itu, buku ini menginspirasi saya untuk lebih menggali pemikiran-pemikiran Muray Bookchin pada bacaan-bacaan saya selanjutnya.
  4. We Are Here (Oliver Jeffers, 2017) — Kecintaan saya terhadap buku anak-anak bermula jauh sebelum tahun 2018 ini. Buku ini bisa dikatakan buku anak-anak terbaik yang pernah saya baca. Bukan hanya dari sisi ceritanya, tapi gambar-gambar ilustrasi Oliver Jeffers membuat buku ini sangat spesial.
  5. Harald Szeemann: Individual Methodology (Le Magasin, 2007) — Salah satu buku yang saya anggap ‘sakral.’ Saking sakralnya sampai-sampai saya tidak rela menyelesaikan buku ini. Seperti terbaca pada judulnya, buku ini menginvestigasi metode Haralz Szeemann sebagai kurator atau pembuat pameran. Dengan fokus pada dua studi kasus pameran: documenta 5 “Questioning Reality – Pictorial Worlds Today” (1972) and Lyon Biennale “L’Autre” (1997) ketika ia berperan sebagai direktur artistik di dua pameran tersebut. Di saat membaca buku ini, saya merasa bahagia membayangkan bagaimana penelitian ini dilakukan dengan menyelami arsip-arsip peninggalan Harald Szeemann di dalam sebuah gudang tempat penyimpanan arsip-arsip pribadinya yang dinamai Fabbrica rosa.
  6. Pretentiousness: Why it matters (Dan Fox, 2016) — Esai yang sangat menyenangkan dibaca, dituturkan dengan elegan dan disusun melalui argumen-argumen yang sangat relevan. Bagi Dan Fox, penyematan kata pretensius terhadap beberapa hal, khususnya pada karya seni adalah kemalasan semata. Dalam buku ini ia memaparkan bagaimana tendesi pretensius justru memilki peran penting dalam praktik kreatif, dengan menimbang beberapa aspek kesejarahan dan teoretis dalam seni drama, musik, budaya pop, hingga seni rupa.
  7. Impossible Glossary (hablarenarte, 2018) — Buku ini adalah sentuhan pertama saya pada literasi khusus mengenai medan seni rupa Spanyol. Isinya ialah pendefinisian secara elaboratif dari istilah-istilah terkait praktik seni kolaboraif: agents, autonomy, authorship, collaboration, work, return dan context. Karena dalam konteks Spanyol, isinya pun sangat spesifik, dengan contoh praktik kesenian di negara tersebut. Di samping itu, setiap definisi istilah dielaborasi pula oleh wawancara bersama seniman atau kelompok seniman yang relevan dengan istilah tersebut. Membaca buku ini seolah berkunjung ke tempat yang belum pernah saya injak sebelumnya.
  8. For A Left Populism (Chantal Mouffe, 2018) — Buku tipis ini disusun sebagai respon situasi politik di Eropa saat ini yang ia sebut sebagai “Populist Moment.” Mouffe merasa perlu mengedepankan argumen pentingnya Left Populism dalam perjuangan demokrasi dalam konteks Eropa seiring dengan semakin tumbuhnya ideologi populis Kanan. Di ujung buku, Mouffe sempat menyinggung pengaruh  hegemoni neoliberal pada ekologi, namun sayangnya tidak terlalu ia elaborasi. Terlepas dari itu, Chantall Mouffe bagi saya pribadi adalah pemikir politik yang paling jernih, ide-idenya yang berakar pada teori hegemoni telah banyak membantu saya memahami banyak hal. Tidak terkecuali pada buku ini.
  9. Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Soe Hok Gie, 1997/2017) — Tidak perlu panjang lebar dalam menjelaskan buku ini: ini adalah tulisan skripsi terbaik yang pernah saya baca dari seorang Indonesia. Satu hal yang tersirat setelah membaca buku ini ialah pertanyaan mengapa nama presiden Sukarno hampir tidak pernah disebut di saat peristiwa Pemberontakan PKI Madiun 1948 bergulir. Lalu di mana peran dan signifikansinya sebagai kepala negara di seputar peristiwa ini?
  10. Alih Wahana (Sapardi Djoko Damono, 2012) — Bagi sebagian besar praktisi kesenian, bisa jadi topik yang dituliskan SDD dalam buku ini terdengar lumrah saja. Persoalannya ialah, hampir tidak pernah ada yang membahasnya secara mendalam apalagi dalam format buku. Alih wahana menjadi pembahasan yang penting sekaligus menarik; ditambah lagi dengan gaya menulis SDD yang lebih terasa sedang bertutur, membuat buku ini lebih menyenangkan ketika dibaca.
  11. Why I’m No Longer Talking To White People About Race (Reni Eddo-Lodge, 2017) — Saya tak ragu menyebut buku ini sebagai terbaik yang saya baca di 2018. Rasisme struktural dalam konteks Kerajaan Britania Raya (UK) menjadi pembahasan utama yang diuraikan secara mendalam dan meluas: dari perspektif sejarah, kelas, hingga feminisme. Buku ini memperkaya referensi kajian mengenai rasisme di luar narasi perjuangan kulit hitam di Amerika. Tinjauan sejarah awal perbudakan di Liverpool, konflik sesama orang kulit berwarna di UK seperti yang berasal dari negara-negara Afrika, Karibia dan Asia, hingga persoalan interseksionalitas dalam feminisme dirangkai dengan sangat apik dalam buku ini. Bermula dari sebuah postingan blog dengan judul yang sama, topik dalam buku ini sekarang tersedia juga dalam medium podcast.

*

Sementara itu, daftar lengkap buku-buku yang selesai saya baca di 2018 diurutkan dari waktu bacanya ialah:

  1. Flora & Ulysses: The Illuminated Adventures (Kate DiCamillo, 2013)
  2. Things That Cannot be Said (John Cesack & Arundhati Roy, 2016)
  3. We Want Everything/Vogliamo Tutto (Nanni Balestrini, 1971/2016)
  4. ABC’s of Anarchy (Brian Heagney, 2014)
  5. The ABC’s of Socialism (Bhaskar Sunkara ed., 2016)
  6. Building the Commune: Radical Democracy in Venezuela (George Ciccariello-Maher, 2016)
  7. Shenzhen: A Travelouge from China (Guy Delisle, 2012)
  8. The Rojava Revolution: a small key can open a large door (Strangers In A Tangled Wilderness, ed., 2015)
  9. Red Rosa: a graphic biography of Rosa Luxemburg (Kate Evans, 2015)
  10. Perang Picasso: hancurnya sebuah kota dan lahirnya sebuah mahakarya (Russell Martin, 2002/2015)
  11. Why I’m No Longer Talking To White People About Race (Reni Eddo-Lodge, 2017)
  12. Pak Tua Yang Membaca Kisah Cinta (Luis Sepúlveda, 1988/2017)
  13. Pemburu Aksara (Ana María Shua, 2017)
  14. Curationism: How curating took the art world and everything else (David Balzer, 2014)
  15. We Are Here (Oliver Jeffers, 2017)
  16. The Lorax (Dr. Seuss, 1972/2012)
  17. Catatan dari Bawah Tanah (Fyodor Dostoyevski, 1864/2018)
  18. Tuan Tanah Kawin Muda: Hubungan Seni Rupa-LEKRA 1950-1965 (Antariksa, 2005)
  19. The Red Tenda of Bologna (John Berger, 2007/2018)
  20. Mencari Langit (Sobron Aidit, 1999)
  21. The Garden of Forking Paths (Jorge Luis Borges, 1941/2018)
  22. Works on Paper (Minna Henriksson, 2017)
  23. Yang Kelewat di Buku Sejarah (Perkumpulan Pamflet Generasi, 2016)
  24. Persepolis 2 (Marjane Satrapi, 2004)
  25. Fame (Andy Warhol, 1975/2018)
  26. A conversation between Florida and artist Margaret Raspé (Florida, 2016)
  27. Heidegger and a Hippo Walk Through Those Pearly Gates (Thomas Cathcart & Daniel Klein, 2009)
  28. Nasionalisme Palestina di Lapangan Hijau (Tamir Sorek, 2003/2010)
  29. bone (Yrsa Daley-Ward, 2017)
  30. Pretentiousness: Why it matters (Dan Fox, 2016)
  31. Daydream and Drunkenness of a Young Lady (Claire Lispector, 2015)
  32. Harald Szeemann: Individual Methodology (Le Magasin, 2007)
  33. Buruh Berkuasa: Kumpulan tulisan klasik sindikalisme (Daun Malam, 2016)
  34. Sumpah Pemuda: Makna dan proses penciptaan simbol kebangsaan Indonesia (Keith Foulcher, 2008)
  35. Cautionary Tales: Critical curating (apexart, 2017)
  36. Kumpulan Doa Pendek (Irwan Ahmett, 2008)
  37. Tamagural (Rosell Meseguer, Rodolfo Andaur, 2013)
  38. Catalonia Revolusioner (Yerry Niko, tahun tidak diketahui)
  39. Mengapa Eksperimen Skala Kecil Selalu Gagal (Peter Kropotkin, 2017)
  40. Di Bawah Bendera Hitam (Alimin Prawirodirdjo, dkk., 2017)
  41. Compassion anthlogy (Rain Chudori, dkk., 2018)
  42. No play, Feminist Training Camp (neue Gesellschaft für bildende Kunst, 2016)
  43. Libro Primero/First Book (Benjamín Ossa, 2016)
  44. The Temporary Autonomous Zone, Ontological Anarchy, Poetic Terrorism (Hakim Bey, 1985/1991)
  45. Pazudis Archīvā/Lost in the Archive (Latvian Centre for Contemporary Art, 2016)
  46. Impossible Glossary (hablarenarte, 2018)
  47. 1984 (George Orwell, 1949/2016)
  48. The ‘ruru huis’ (reinaart vanhoe, 2018)
  49. Madness: Tales of fear and unreason (Roald Dahl, 2016)
  50. 3½ Tahun Bekerja: Kuratorial arsip seni & propaganda pendudukan Jepang (Antariksa, dkk., 2018)
  51. Seikat Kisah Tentang Yang Bohong (Berto Tukan, 2016)
  52. New World Summit (Jonas Staal, 2012)
  53. Nosso Lar, Brasília (Jonas Staal, 2014)
  54. For A Left Populism (Chantal Mouffe, 2018)
  55. Ibu Mendulang Anak Berlari (Cyntha Hariadi, 2016)
  56. The Population Myth (Murray Bookchin, 2010)
  57. On Spontaneity and Organisation (Murray Bookchin, 1975)
  58. Landscape: John Berger on Art (John Berger, 2016)
  59. Alih Wahana (Sapardi Djoko Damono, 2012)
  60. The Society of The Spectacle (Guy Debord, 1967)
  61. A Warning to Students of All Ages (Raoul Vaneigem, 1995)
  62. Finn Family Moomintroll (Tove Jansson, 1948/2017)
  63. My Uncle Oswald (Roald Dahl, 1979)
  64. Also-Space, From Hot to Something Else: How Indonesian art Initiatives Have Reinvented Networking (reinaart vanhoe, 2016)
  65. Security Culture (Crimetechinc.Ex Workers Collective, 2014)
  66. Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Soe Hok Gie, 1997/2017)
  67. The Socialism and Anti-parliamentarism of William Morris (Guy Alfred Aldred, 1940/2004)
  68. Theater of Exhibitions (Jens Hoffmann, 2015)
  69. Errico Malatesta and Revolutionary Violence (Alfreddo M. Bonanno, 2011)
  70. Geontologies: A requiem to late liberalism (Elizabeth A. Povinelli, 2016)
  71. Kölee Prize 2018 (EKKM & Lugemik, 2018)
  72. Civil Disobedience (Henry David Thoreau, 1849)
Di awal tahun, saya berharap untuk lebih banyak membaca fiksi, namun setelah melihat daftar di atas, tampaknya tidak sesuai harapan. yakin bahwa dapat membaca buku-buku sesuai sengan keinginan kita adalah sebuah keistimewaan. Tahun ini memang spesial bagi kegiatan literasi saya, karena hampir tidak ada keharusan untuk membaca seperti di tahun ketika saya menulis tesis, atau yang harus membaca buku-buku terkait dengan pekerjaan. Saya bersyukur untuk hal ini, dan siap menyambut 2019 dengan daftar buku yang tidak kalah seru.

 

×
Jakarta, Desember 2018

Ladri di biciclette

Ladri di biciclette atau Pencuri Sepeda adalah sebuah film yang disutradai oleh Vittorio de Sica, dibuat pada 1948. Film ini bercerita mengenai seorang lelaki miskin bersama anaknya, dalam pecnacarian sebuah sepeda yang dicuri ketika ia bekerja. Latar waktu dalam film ini ialah pada masa setelah Perang Dunia II di Roma, ketika kemiskinan merebak di hampir seluruh negeri itu, bersama minimnya pekerjaan yang bisa didapatkan oleh masyarakat Italia. Ladri di biciclette merupakan sebuah adaptasi dari novel Luigi Bartolini, dan dibintangi oleh Lamberto Maggiorani sebagai seorang ayah (Antonio Ricci) dan Enzo Staiola sebagai seorang anak lelaki yang terus mengikuti ayahnya (Bruno). Ladri di biciclette merupakan salah satu masterpiece dari gerakan Neorealisme Italia yang berkembang antara tahun 1943 hingga 1952 (Landy, 2000).

Antonio Ricci, seorang ayah dari dua anak, hampir putus asa dalam menafkahi keluarganya. Pada awal film, ia ditawari pekerjaan sebagai di sebuah biro iklan sebagai pemasang poster di tembok-tembok di kota Roma. Ia menceritakan hal itu kepada istrinya Maria (Lianella Carel) bahwa pekerjaan ini mengharuskan ia memiliki sepeda untuk berkeliling membawa poster yang akan ditempelkan. Dengan segera, Maria berinisiatif untuk menjual kain sprei di kamar mereka untuk kemudian uang hasil penjualannya digunakan untuk membeli sepeda.

Di hari pertama ia bekerja, Antonio terkejut ketika seorang anak muda (Vittorio Antonuci) mencuri sepedanya ketika ia menempelkan poster di salah satu sudut di kota Roma. Antonio melakukan pengejaran sebisanya, sampai kemudian si pencuri hilang di antara gelapnya jalan terowongan yang berisi banyak pengendara sepeda. Antonio mendapatkan petunjuk dari temannya, Baiocco, bahwa biasanya barang curian selalu dijual di pasar Piazzza Vittorio, dan Antonio pun pergi segera ke tempat itu bersama beberapa orang teman dan Bruno anaknya. Ia akhirnya menemukan sepeda yang mirip dengan sepedanya. Sempat beradu mulut dengan penjualnya, akhirnya seorang polisi meminta Antonio memeriksa nomor seri sepeda tersebut, dan ternyata berbeda dengan nomor seri sepeda miliknya.

Di pasar lainya, yaitu Porta Portese, Antonio dan Bruno melihat pencuri sepeda dengan seorang kakek tua. Mereka mengejar pencuri tersebut namun ia bisa menghindar. Untuk mencari identitas si pencuri, Antonio dan Bruno kembali mengikuti kakek tua itu, hingga ke dalam gereja dan membuat beberapa kegaduhan yang mengganggu jalannya ibadah yang sedang berlangsung. Namun mereka lagi-lagi kehilangan jejak kakek tua itu dan Bruno, sang anak, sempat menegur ayahnya. Hingga kemudian Antonio menampar anak itu karena marah, dan langsung meminta maaf dengan segera.

Ketika Antonio mencari si kakek tua, Bruno diperintahkannya untuk menunggu di sebuah jembatan di tepi sebuah sungai. Beberapa saat setelah itu Antonio mendengar kerumunan orang berteriak bahwa ada seorang anak yang hanyut ke dalam sungai. Teringat pada Bruno, ia kemudian langsung berlari menghampiri kerumunan tersebut karena khawatir bahwa anak yang tenggelam itu adalah anaknya. Ia ternyata salah sangka, Bruno bukanlah anak yang hanyut itu, ia masih duduk manis menunggu ayahnya di jembatan. Setelah kejadian tersebut, Antonio mengajak Bruno makan siang di sebuah restoran yang lumayan mewah, untuk sejenak melupakan semua masalah yang menimpanya dan menghibur Bruno. Di saat makan siang tersebut, Bruno tidak berhenti melihat ke arah meja keluarga kaya yang duduk di belakangnya. Dengan baik hati, Antonio pun membelikan makanan yang sama yang disajikan untuk keluarga kaya tersebut untuk Bruno anaknya. Namun tak lama setelah itu, mereka meninggalkan restoran setelah Antonio kembali teringat akan bencana yang menimpa dirinya hari itu.

Karena merasa putus asa, Antonio akhirnya bertanya kepada seorang wanita peramal, dan peramal tersebut berkata: “Kamu akan menemukan sepeda itu hari ini, atau tidak sama sekali.” Setelah meninggalkan tempat peramal, ia bertemu lagi dengan orang yang ia curigai sebagai pencuri sepedanya. Ia mengejarnya hingga masuk ke sebuah rumah bordil, sampai mereka berdua diusir oleh penghuni rumah bordil tersebut. Di pinggir jalan, Antonio mengancam si pencuri untuk segera mengembaikan sepedanya, namun ia tetap bergeming. Hingga kemudian masa berkumpul dan menyalahkan Antonio atas keributan yang terjadi di lingkungan mereka. Bruno berlari memanggil seorang polisi, kemudian bertanya mengenai kejadian tersebut. Antonio menceritakan semuanya, namun polisi tersebut menilai Antonio kurang cukup bukti dan tidak memiliki saksi bahwa orang tersebut ialah pencurinya.

Mereka berjalan perlahan meninggalkan tempat tersebut, kemudian berhenti di dekat Stadio Nazionale del PNF (Stadion Nasional Partai Fasis) yang sedang menyelenggarakan pertandingan sepakbola. Antonio melihat banyak sepeda diparkir di sekitar sana, ia mulai terlihat bimbang. Suara riuh terdengar dari arah stadion, para penonton mulai meninggalkan stadion pertanda pertandingan telah selesai. Bruno yang terlihat semakin gelisah, kemudian diberi sedikit uang oleh ayahnya untuk meninggalkan tempat itu dan menaiki trem, di tempat pemberhentian trem itulah kemudian Antonio akan menyusulnya. Sebelum Bruno mendapatkan trem, Antonio ternyata mencuri sebuah sepeda yang diparkir sembarangan oleh pemiliknya. Banyak orang melihat kejadian tersebut kemudian mengejarnya hingga ia tertangkap. Bruno yang melihat kejadian itu di saat menunggu antrian trem berlari menghampirinya dengan tangisan ketika Antonio hampir dihakimi warga. Pemilik sepeda itu akhirnya memaafkan Antonio dan segera menyuruhnya pergi dari tempat tersebut. Film ini diakhiri dengan perginya Antonio dan Bruno di antara kerumunan orang-orang di sekitar mereka.

*

Dalam film dengan durasi 93 menit ini, setidaknya saya melihat ada empat peristiwa penting dalam proses pembacaan mengenai keseluruhan film ini. Pertama ialah pada saat Antonio mendapat pekerjaan sebagai penempel poster film, dan mengharuskannya membeli sepeda sebagai alat transportasi ketika ia bekerja. Kedua, ialah ketika sepeda milik Antonio dicuri pada menit ke-20. Saat inilah, problematika kehidupan Antonio sebagai warga kota yang miskin semakin bertambah, dan menjadi titik menemtukan pada alur film selanjutnya. Bagian ketiga, ialah ketika Antonio mengajak anaknya makan di sebuah restoran mewah, di saat rasa putus asa-nya semakin memuncak di saat pencarian sepeda miliknya yang dicuri. Pada adegan ini, sangat jelas terlihat bahwa relasi Ayah dan Anak, merupakan salah satu tema yang juga ditampilkan dengan sangat jelas. Film ini akan terasa biasa saja, jika kehadiran Bruno tidak ada. Bagian terakhir ialah klimaks, ketika rasa putus asa Antonio mengarahkan pikirannya untuk mencuri sepeda milik orang lain sebagai pengganti sepedanya yang hilang. Keputusannya inilah yang semakin menguatkan relasi antara manusia saat itu yang sama-sama dalam keadaan miskin: mereka terpaksa saling mencuri, dan hal ini juga menandakan kepemilikan kedaraan mekanis seperti sepeda masih merupakan barang yang cukup sukar didapatkan.

Sebagai sebuah karya seni, film pada dasarnya terbentuk dari dua hal. Setelah pembuat film menentukan apa yang mereka rekam, dua pertanyaan pentingnya ialah “bagaimana ia merekamnya” (paradigmatis) dan “bagaimana ia mempresentasikannya” (bagaimana ia melakukan editing: sintagmatis). Dalam bahasa, pilihan paradigmatis mejadi hal yang utama, sedangkan dalam semiotika film, bagian sintagmatis menjadi aspek yang paling penting dalam film. Hal ini berdasarkan pada alasan sederhana, bahwa pada proses sintagmatis inilah (melakukan editing atau montase) yang membedakan film dengan karya seni lainnya, pada proses inilah kesan-kesan ‘sinematik’ sebuah film dapat diukur (Monaco, 2000).

Beberapa ciri dari film neorealisme Italia ialah pemeran film yang biasanya bukan aktor profesional, tempat pengambilan gambar di luar studio ruangan (dikarenakan salah satu studio terbesar untuk perfilman di Italia benama Cinecittá mengalami kerusakan parah akibat Perang Dunia II). Ladri di biciclette memenuhi semua syarat tersebut, ditambah dengan tatanan narasi (narrative order) yang tersusun sangat efektif, dengan total selama tiga hari durasi narasi (narrative duration) yang setiap harinya berisi tiga narasi penting dalam cerita di film ini: hari pertama, ketika Antonio mendapatkan pekerjaan, hari kedua, ketika ia mulai bekerja dan sepedanya dicuri, dan hari ketiga ketika ia mencari sepeda tersebut bersama anak lelakinya.

Peristiwa penting pertama diawali dengan adegan Antonio Ricci mendapatkan pekerjaan, yang kemudian mengharuskannya menjual sprei untuk membei sepeda sebagai persyaratan bagi para pekerja. Pada pengambilan bingkai (framing) gambar di bagian kiri, Taksonomi yang digunakan ialah dividing multiple yang berisi dua kelompok subjek dalam sebuah bingkai. Kelompok objek pertama ialah Antonio dan pemberi pekerjaan, dan kelompok lainnya ialah kerumunan orang yang belum mendapatkan pekerjaan, berada di belakang Antonio. Dalam penafsiran tanda yang bersifat metaphoric, tanda yang digunakan dalam adegan ini (Antonio mendapatkan pekerjaan) digunakan untuk memaknai tanda melalui sekumpulan orang di belakang Antonio (sedikitnya pekerjaan dan banyaknya pengangguran pada masa itu).

Pada adegan penting kedua yang saya garis bawahi, yaitu ketika sepeda Antonio dicuri di menit ke-20, ada beberapa tanda yang sangat menarik yang ditampilkan oleh de Sicca dalam proses sintagmatis dalam adegan ini. Dalam adegan yang relatif cepat, kurang lebih hanya 20 detik, adegan pencurian ini memiliki beberapa signifier: Antonio, si pencuri, sepeda, orang lain yang berada dekat pencuri (namun acuh terhadap kejadian ini), dan poster yang sedang ditempelkan oleh Antonio. Dalam melihat sebuah film, bisa juga dimasukan suara yang menjadri latar kejadian itu. Dari runutan kejadian itu, signified yang terbentuk relatif rumit dari yang awalnya terbayangkan. Narrative duration yang begitu cepat memunculkan signified betapa cepatnya nasib seseorang berubah, hanya karena kelengahannya dalam beberapa detik. Si pencuri pun melakukan adegan pencurian ini dengan tidak terencana, dan orang yang berada dekat pada saat kejadian yang seharusnya bisa menjadi aktor kunci hilang begitu saja setelah peristiwa ini terjadi. Hal ini lah yang mamunculkan signified berupa sikap acuh yang melekat pada budaya perkotaan khususnya pada masa itu. Dari sisi Antonio sendiri, perubahan budaya paska perang bisa terlihat dari poster yang ia tampilkan di tembok, itu adalah poster seorang bintang film terkenal Amerika Serikat: Rita Hayworth. Meskipun tidak jelas bahwa itu ialah poster film atau bukan, akan tetapi jika ditelusuri lebih jauh, ternyata Rita Hayworth pada tahun itu, 1948, baru meliris film terbarunya berjudul The Loves of Carmen. Dari keseluruhan susunan relasi antara signifier dan signified yang terbentuk itu, beberapa sign yang terbaca menunjukan pada saat itu, tiga tahun setelah berakhirnya Perang Dunia II, budaya Amerika Serikat mulai masuk melalui perfilman; kemiskinan menyebabkan setiap orang melakukan segala sesuatu termasuk mencuri untuk bertahan hidup atau sekedar bersenang-senang (pada adegan selanjutnya pencuri muda ini bisa diasumsikan mencuri hanya untuk bersenang-senang, setelah Antonio memergokinya di rumah bordil/tempat pekerja seks komersil).

Adegan ketiga terjadi setelah sebelumnya Antonio menampar anaknya karena ia ingin medapatkan makanan gratis dari gereja. Merasa bersalah, akhirnya Antonio mengajak ananknya makan di restoran mewah. Narasi dalam adegan ini menjadi sangat penting karena Vittorio de Sica menampilkan paradoks melalui tanda-tanda yang susun dalam ruang tempat adegan ini berlangsung.

Di restoran tersebut, kita bisa melihat signifier yang terdiri dari dua keluarga: keluarga Antonio dan keluarga orang kaya yang berada tepat di belakangnya. Dalam adegan yang cukup intens memperlihatkan relasi antara Ayah dan Anak, pikiran sang anak sempat buyar karena melihat anak lain dari keluarga orang kaya, dengan cara makan yang lebih rapih, penampilan yang baik, dan memesan banyak makanan. Signified yang bisa ditangkap dalam adegan ini ialah ketinmpangan sosial masyarakat Italia pada masa itu. Di sisi lain, Sign yang terbentuk dari narasi ini bisa menjadi sangat politis. Keberpihakan de Sica pada kelas pekerja (Antonio) diperlihatkan dengan kesetaraan akses yang bisa ia dapatkan dalam pemuasan hasrat pribadinya (makan di restoran mewah), meskipun justru ketimpangan sosial di sini justru menjadi semakin terlihat.

Pada bagian terakhir, dan juga menjadi klimaks pada narasi film ini, ialah ketika akhirnya Antonio memutuskan untuk mencuri sepeda milik orang lain. Sebelum kejadian ini, ia meminta anaknya untuk pulang terlebih dahulu memakai trem, namun ia tertinggal dan harus menyaksikan Ayahnya menjadi seorang pencuri sepeda. Sekali lagi peran Bruno sebagai anak Antonio menentukan akhir cerita ini. Setelah tertangkap, pemilik sepeda dengan mudah memaafkan Antonio karena melihat ia membawa seorang anak lelaki.

Ruang nyata, yang identik digunakan oleh pembuat film beraliran neorealisme, terlihat jelas dalam akhir film ini. Stadio Nazionale del PNF dimanfaatkan oleh de Sica sebagai tempat pengambilang gambar. Saat itu, di stadion tersebut sedang diadakan sebuah pertandingan sepakbola. Dalam penelusuran saya, ternyata itu adalah pertandingan sebenarnya yang terjadi antara AS Roma melawan Bologna di liga utama sepakbola Italia, Serie A musim kompetisi 1947/1948 [1]. Dalam klimaks ini, ada tiga peristiwa yang bisa dibaca sebagai signifier, pertama ialah kejadian ketika Antonio mencuri sepeda, kedua ketika Antonio tertangkap dan pemilik sepeda memaafkannya, ketiga ketika ia dan Bruno berjalan hilang bersama kerumunan dan mengakhiri film ini. Signified yang terbentuk dalam ketiga adegan tersebut secara berurutan memperlihatkan tingkat depresi yang tinggi pada Antonio yang menyebabkannya berpikir pendek dan kahirnya mencuri. Sisi moral yang masih tersisa di antara kehidupan yang sulit tetap ditampilkan ketika Antonio tidak ingin anaknya melihat ia sebagai pencuri, dan pemilik sepeda memaafkan Antonio karena ia membawa anak laki-laki. Dalam pembentukan signified berupa pesan moralitas yang masih ada ini diwujudkan oleh si pembuat film dengan kehadiran seorang anak. Pada adegan terakhir inilah, sang anak menjadi peran sentral yang sesungguhnya dalam penderitaan yang dialamai oleh masyarakat Italia pada saat itu. Dalam adegan terakhir ketika Antonio dan anaknya berjalan menatap kosong ke depan di antara kerumunan orang, narasi yang dibangun seolah tidak menyelesaikan permasalahan. Pembuat film ini malah memeperlihatkan ketidakpastian, dan mengembalikannya kemnbali pada masyarakat umum (bersatu dan menghilang dalam kerumunan).

Tanda yang kemudian terlihat dalam adegan terakhir ini, yang memperlihatkan relasi personal dan kaitannya dengan permasalahan orang banyak pada suatu masa semakin terlihat. Dari awal hingga akhir, film ini mencoba mengangkat tema dengan narasi kecil, sebuah sepeda yang dicuri. Namun, narasi yang dibangun dengan sangat komplek menampilkan tanda-tanda zeitgeist di suatu wilayah pada mas tertentu. Di sana terdapat antrian pengangguran, seorang Ibu yang rela mempertaruhkan segalanya untuk keluarga, Ayah yang ingin memperlihatkan tanggung jawab dan kasih sayang sekaligus kepada anak lelakinya, anak muda yang berada di tempat prostitusi, dan lain sebagainnya. Tidak mengherankan bahwa film-film dengan aliran neorealisme ini harus berakhir pada pemerintahan liberal Italia setelah tahun 1950. Hal ini disebabkan karena yang mereka perlihatkan merupakan kenyataan sesungguhnya yang dialamai masyarakat Italia paska Perang Dunia II, pemerintah liberal Italia pada saat itu menyebut gerakan ini sebagai “dirty laundry that shouldn’t be washed and hung to dry in open.” Meskipun demikian, beberapa kritikus film menyebut gerakan ini sebagai masa keemasan sinema Italia (Golden Age Era), dan Ladri di biciclette merupakan contoh pertama yang bisa dikatakan sebagai sinema murni. Tidak ada aktor, tidak ada cerita, dan tidak ada set artistik film yang menjadi pusat, dan mencoba mengatakan bahwa dalam ilusi estetika sempurna dari kenyataan, tidak ada lagi sinema di dalamnya (Bazin, 2004).

×

Bandung, Desember 2014.

 

Daftar Pustaka:

Bazin, André. What is Cinema, Vol 1 & 2, Barkeley: University of California Press, 2004.

Landy, Marcia. Italian Film, United States: Cambridge University Press, 2000.

Monaco, James. How to Read A Film: The World of Movies, Media, and Mltimedia, New York: Oxford University Press, 2000.

Piepergerdes, Brent J., Re-envisioning the Nation: Film Neorealism and the Postwar Italian Condition, Kansas: University of Kansas, 2007.

Trifonas, Peter Pericles, Barthes and the Sign of Empire, Reading: Icon Books UK, 2001.

[1] Data pertandingan klub AS Roma pada Serie A musim kompetisi 1947/48 bisa dilihat dengan lengkap di website asroma.co.uk/club-history/statistics/item/507-1947-48