Meskipun pada mulanya tidak secara resmi memiliki seorang kurator, sejarah ruang dan sejarah pameran di seni rupa Indonesia sesungguhnya telah melakukan praktik yang dilakukan kurator saat ini, seperti perawatan koleksi karya seni, penyelenggaraan sebuah pameran, pemilihan seniman, dan lain sebagainya. Sebelum fenomena contemporary turn dan muculnya kurator di seni rupa Indonesia pada awal tahun 1990-an, sejarah kekuratoran bisa dilacak melalui ruang dan pameran yang telah ada sebelum Indonesia merdeka. Salah satu yang pertama ialah Bataviasche Kunstkring di Jakarta yang beroperasi mulai 1938, beberapa pameran yang diselenggarakan di sana dikuratori oleh De Lux Hasmam yang merupakan direktur Bataviasche Kunstkring pada saat itu. Bataviache Kunstkring merupakan salah satu model ruang yang dikelola oleh pemerintah selain Istana Negara, dan Dewan Kesenian Jakarta. Pada kasus Istana Negara, peran seorang kurator dilaksanakan oleh Dullah, seorang pelukis, yang ditunjuk langsung oleh Soekarno sebagai perawat koleksi karya seni di Istana Negara dan sebagai penasehat presiden dalam urusan yang berkaitan dengan karya-karya koleksi istana negara.
Selain Istana Negara sebagai ruang, peran Soekarno sebagai patron seni pada masa itu memberikan pengaruh yang besar pada kehidupan seni rupa dan seniman pada masa itu. Beberapa terbitan buku koleksi Soekarno telah diterbitkan dan salah satunya disunting oleh Dullah sendiri. Dewan Kesenian Jakarta memiliki peran yang cukup vital dalam perkembangan seni rupa Indonesia setelah ia didirikan. Berbagai peristiwa dan gerakan penting seni rupa di Indonesia terjadi di tempat ini, seperti Pameran Besar Seni Lukis Indonesia, peristiwa Desember Hitam, Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia, dan Biennale Jakarta IX. Dewan Kesenian Jakarta dibentuk oleh Gubernur Jakarta sebagai partener dan penasehat kebijakan pemerintah DKI Jakarta yang berkaitan dengan bidang kesenian. Di dalamnya terdapat enam komite seperti Komite Seni Rupa, Film, Teater, Seni Tari, Sastra dan Seni Musik. Salah satu peran Komite Seni Rupa ialah mengelola penyelenggaraan pameran seni rupa yang diselenggarakan di Galeri Cipta II dan Galeri Cipta III. Meskipun tanpa seorang kurator, namun praktik kuratorial di kedua galeri tersebut terus dilakukan oleh Komite Seni Rupa setiap tahunnya.
Boom seni lukis sebagai dampak dari ‘seni pesanan Pertamina’ menyebabkan semakin menjamurnya ruang-ruang lain yaitu galeri swasta terutama di Ibukota Jakarta. Galeri Hadiprana, Edwin Gallery, Monn Decor mulai aktif menyelenggarakan pameran seni rupa meskipun dengan tujuan utama pertukaran nilai ekonomi karya-karya yang dipamerkan. Di akhir tahun 1990-an mulai bermunculan museum swasta yang dibangun oleh para kolektor seni seperti OHD Museum pada 1997 dan Akili Museum of Art pada 2006. Model lainnya ialah museum yang dibangun oleh seniman-seniman maestro Indonesia, sebagai tempat pemajangan karya mereka yang biasanya di kelola oleh keluarga seniman tersebut, seperti Museum Affandi, Museum Barli, Museum Basuki Abdullah, Museum Lempad, Museum Blanco Rennaisance (Antonio Blanco), dan Museum Le Mayeur. Salah satu model ruang yang lebih terbuka untuk umum bisa dilihat dari Selasar Sunaryo di Bandung, yang tidak hanya berisi karya-karya Sunaryo, namun memiliki skema kuratorial dan program yang terorganisir dengan sangat baik.
Model ruang lainnya ialah ruang-ruang alternatif atau alternative spaces sebagai ruang serba guna yang didirikan oleh kelompok seniman. Dalam sebuah ruang alternatif, ruang bisa berfungsi sebagai laboratorium, kantor dan tempat pameran. Umumnya ruang alternatif berawal dari sebuah rumah sewaan, yang dimanfaatkan untuk kegiatan berkesenian sesama seniman dan komunitasnya. Beberapa contoh ruang alternatif ialah Decenta di Bandung (1980-an), Rumah Seni Cemeti di Yogyakarta (1988-sekarang) dan ruangrupa (2000-sekarang) di Jakarta. Sebagai sebuah organisasi kelompok seniman, praktik kekuratoran yang mereka laksanakan tidak jarang juga menghadirkan kurator dari luar ruangrupa, seperti untuk penyelenggaraan festival dua tahunan OK. Video: International Video Festival. Meskipun banyak program yang dijalankan, praktik pengkuratoran yang mereka lakukan tidak akan terlepas dari gagasan keterikatan mereka terhadap budaya perkotaan, lintas keilmuan dan seni kontemporer. Di Rumah Seni Cemeti, Mella Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo merupakan kedua pendiri dan seniman yang tidak pernah mau disebut sebagai kurator. Sejak awal pendirian tempat ini, beberapa seniman seperti Anusapati, Heri Dono dan FX Harsono, Eddie Hara dan Dadang Cristanto hampir selalu mengisi setiap pameran yang dilaksanakan. Hingga pada perkembangan terakhirnya Rumah Seni Cemeti saat ini juga banyak menyelenggarakan pertukaran seniman, residensi, dan lokakarya untuk kurator muda, selain secara rutin menyelenggarakan pameran seni rupa kontemporer.
×
Jakarta, Desember 2014.