Buku-buku di 2018

Di akhir 2017, saya mencoba Spotify wrapped untuk meninjau kembali musik-musik apa saja yang didengarkan di aplikasi tersebut selama satu tahun. Saya kemudian berpikir, mungkin menarik jika hal yang sama bisa juga dilakukan untuk buku-buku yang dibaca sepanjang. Namun sayangnya, sejauh yang saya ketahui, belum ada media atau aplikasi yang secara otomatis bisa melakukan hal ini. Untuk itulah, di awal 2018 saya memutuskan untuk mulai mencatat buku apa saja yang selesai saya baca selama satu tahun. Upaya ini adalah yang pertama kalinya saya lakukan. Hasilnya hingga akhir 2018, sebanyak 72 buku telah selesai saya baca. Sekali lagi, daftar tersebut ialah buku-buku yang selesai dibaca, mengingat beberapa buku tidak sanggup saya baca hingga selesai karena terlalu membosankan atau ada buku lain yang membuat saya akhirnya berpaling.

Dalam susunan acak, beberapa buku yang paling menginspirasi dan sangat saya rekomendasikan untuk dibaca ialah:

  1. We Want Everything/Vogliamo Tutto (Nanni Balestrini, 1971/2016) — Meski pusat ceritanya mengisahkan soal perjuangan pekerja pabrik FIAT di Turin dengan serangkaian pemogokan, dalam buku klasik ini Nanni Balestrini juga memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang lebih jauh dalam konteks masyarakat Italia. Misalnya bagaimana diskriminasi berbasis wilayah terjadi di Italia; antara orang-orang kaya di bagian wilayah utara, dan kemiskinan di selatan. Hubungan pekerja dan pemilik alat produksi melampaui jauh dari soal ekonomi semata.
  2. Building the Commune: Radical Democracy in Venezuela (George Ciccariello-Maher, 2016) — Hal yang paling menarik dalam buku ini bagi saya ialah bagaimana langkah Chavez merevolusi Venezuela dari akarnya, dengan mengubah konstitusi dasar negara tersebut. Sayangnya 2018 ialah tahun yang ditandai keterpurukan ekonomi Venezuela; mulai dari inflasi yang sangat tinggi, keterbatasan makanan, tenaga listrik hingga peralatan medis yang menyebabkan banyak penduduknya terpaksa meninggalkan negeri ini.
  3. The Rojava Revolution: a small key can open a large door (Strangers In A Tangled Wilderness, ed., 2015) — Meskipun tidak bisa dikatakan kompersensif, namun buku ini mampu memberikan gambaran yang cukup untuk memahami perjuangan masyarakat Kurdi di Rojava. Melalui kumpulan esai dalam buku ini, dijelaskan pula bagaimana eksperimen demokrasi langsung yang dilandasi pemikiran-pemikiran anarkisme, sosialisme libertarioan, feminisme dan eko-sosialisme dipraktikan. Selain itu, buku ini menginspirasi saya untuk lebih menggali pemikiran-pemikiran Muray Bookchin pada bacaan-bacaan saya selanjutnya.
  4. We Are Here (Oliver Jeffers, 2017) — Kecintaan saya terhadap buku anak-anak bermula jauh sebelum tahun 2018 ini. Buku ini bisa dikatakan buku anak-anak terbaik yang pernah saya baca. Bukan hanya dari sisi ceritanya, tapi gambar-gambar ilustrasi Oliver Jeffers membuat buku ini sangat spesial.
  5. Harald Szeemann: Individual Methodology (Le Magasin, 2007) — Salah satu buku yang saya anggap ‘sakral.’ Saking sakralnya sampai-sampai saya tidak rela menyelesaikan buku ini. Seperti terbaca pada judulnya, buku ini menginvestigasi metode Haralz Szeemann sebagai kurator atau pembuat pameran. Dengan fokus pada dua studi kasus pameran: documenta 5 “Questioning Reality – Pictorial Worlds Today” (1972) and Lyon Biennale “L’Autre” (1997) ketika ia berperan sebagai direktur artistik di dua pameran tersebut. Di saat membaca buku ini, saya merasa bahagia membayangkan bagaimana penelitian ini dilakukan dengan menyelami arsip-arsip peninggalan Harald Szeemann di dalam sebuah gudang tempat penyimpanan arsip-arsip pribadinya yang dinamai Fabbrica rosa.
  6. Pretentiousness: Why it matters (Dan Fox, 2016) — Esai yang sangat menyenangkan dibaca, dituturkan dengan elegan dan disusun melalui argumen-argumen yang sangat relevan. Bagi Dan Fox, penyematan kata pretensius terhadap beberapa hal, khususnya pada karya seni adalah kemalasan semata. Dalam buku ini ia memaparkan bagaimana tendesi pretensius justru memilki peran penting dalam praktik kreatif, dengan menimbang beberapa aspek kesejarahan dan teoretis dalam seni drama, musik, budaya pop, hingga seni rupa.
  7. Impossible Glossary (hablarenarte, 2018) — Buku ini adalah sentuhan pertama saya pada literasi khusus mengenai medan seni rupa Spanyol. Isinya ialah pendefinisian secara elaboratif dari istilah-istilah terkait praktik seni kolaboraif: agents, autonomy, authorship, collaboration, work, return dan context. Karena dalam konteks Spanyol, isinya pun sangat spesifik, dengan contoh praktik kesenian di negara tersebut. Di samping itu, setiap definisi istilah dielaborasi pula oleh wawancara bersama seniman atau kelompok seniman yang relevan dengan istilah tersebut. Membaca buku ini seolah berkunjung ke tempat yang belum pernah saya injak sebelumnya.
  8. For A Left Populism (Chantal Mouffe, 2018) — Buku tipis ini disusun sebagai respon situasi politik di Eropa saat ini yang ia sebut sebagai “Populist Moment.” Mouffe merasa perlu mengedepankan argumen pentingnya Left Populism dalam perjuangan demokrasi dalam konteks Eropa seiring dengan semakin tumbuhnya ideologi populis Kanan. Di ujung buku, Mouffe sempat menyinggung pengaruh  hegemoni neoliberal pada ekologi, namun sayangnya tidak terlalu ia elaborasi. Terlepas dari itu, Chantall Mouffe bagi saya pribadi adalah pemikir politik yang paling jernih, ide-idenya yang berakar pada teori hegemoni telah banyak membantu saya memahami banyak hal. Tidak terkecuali pada buku ini.
  9. Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Soe Hok Gie, 1997/2017) — Tidak perlu panjang lebar dalam menjelaskan buku ini: ini adalah tulisan skripsi terbaik yang pernah saya baca dari seorang Indonesia. Satu hal yang tersirat setelah membaca buku ini ialah pertanyaan mengapa nama presiden Sukarno hampir tidak pernah disebut di saat peristiwa Pemberontakan PKI Madiun 1948 bergulir. Lalu di mana peran dan signifikansinya sebagai kepala negara di seputar peristiwa ini?
  10. Alih Wahana (Sapardi Djoko Damono, 2012) — Bagi sebagian besar praktisi kesenian, bisa jadi topik yang dituliskan SDD dalam buku ini terdengar lumrah saja. Persoalannya ialah, hampir tidak pernah ada yang membahasnya secara mendalam apalagi dalam format buku. Alih wahana menjadi pembahasan yang penting sekaligus menarik; ditambah lagi dengan gaya menulis SDD yang lebih terasa sedang bertutur, membuat buku ini lebih menyenangkan ketika dibaca.
  11. Why I’m No Longer Talking To White People About Race (Reni Eddo-Lodge, 2017) — Saya tak ragu menyebut buku ini sebagai terbaik yang saya baca di 2018. Rasisme struktural dalam konteks Kerajaan Britania Raya (UK) menjadi pembahasan utama yang diuraikan secara mendalam dan meluas: dari perspektif sejarah, kelas, hingga feminisme. Buku ini memperkaya referensi kajian mengenai rasisme di luar narasi perjuangan kulit hitam di Amerika. Tinjauan sejarah awal perbudakan di Liverpool, konflik sesama orang kulit berwarna di UK seperti yang berasal dari negara-negara Afrika, Karibia dan Asia, hingga persoalan interseksionalitas dalam feminisme dirangkai dengan sangat apik dalam buku ini. Bermula dari sebuah postingan blog dengan judul yang sama, topik dalam buku ini sekarang tersedia juga dalam medium podcast.

*

Sementara itu, daftar lengkap buku-buku yang selesai saya baca di 2018 diurutkan dari waktu bacanya ialah:

  1. Flora & Ulysses: The Illuminated Adventures (Kate DiCamillo, 2013)
  2. Things That Cannot be Said (John Cesack & Arundhati Roy, 2016)
  3. We Want Everything/Vogliamo Tutto (Nanni Balestrini, 1971/2016)
  4. ABC’s of Anarchy (Brian Heagney, 2014)
  5. The ABC’s of Socialism (Bhaskar Sunkara ed., 2016)
  6. Building the Commune: Radical Democracy in Venezuela (George Ciccariello-Maher, 2016)
  7. Shenzhen: A Travelouge from China (Guy Delisle, 2012)
  8. The Rojava Revolution: a small key can open a large door (Strangers In A Tangled Wilderness, ed., 2015)
  9. Red Rosa: a graphic biography of Rosa Luxemburg (Kate Evans, 2015)
  10. Perang Picasso: hancurnya sebuah kota dan lahirnya sebuah mahakarya (Russell Martin, 2002/2015)
  11. Why I’m No Longer Talking To White People About Race (Reni Eddo-Lodge, 2017)
  12. Pak Tua Yang Membaca Kisah Cinta (Luis Sepúlveda, 1988/2017)
  13. Pemburu Aksara (Ana María Shua, 2017)
  14. Curationism: How curating took the art world and everything else (David Balzer, 2014)
  15. We Are Here (Oliver Jeffers, 2017)
  16. The Lorax (Dr. Seuss, 1972/2012)
  17. Catatan dari Bawah Tanah (Fyodor Dostoyevski, 1864/2018)
  18. Tuan Tanah Kawin Muda: Hubungan Seni Rupa-LEKRA 1950-1965 (Antariksa, 2005)
  19. The Red Tenda of Bologna (John Berger, 2007/2018)
  20. Mencari Langit (Sobron Aidit, 1999)
  21. The Garden of Forking Paths (Jorge Luis Borges, 1941/2018)
  22. Works on Paper (Minna Henriksson, 2017)
  23. Yang Kelewat di Buku Sejarah (Perkumpulan Pamflet Generasi, 2016)
  24. Persepolis 2 (Marjane Satrapi, 2004)
  25. Fame (Andy Warhol, 1975/2018)
  26. A conversation between Florida and artist Margaret Raspé (Florida, 2016)
  27. Heidegger and a Hippo Walk Through Those Pearly Gates (Thomas Cathcart & Daniel Klein, 2009)
  28. Nasionalisme Palestina di Lapangan Hijau (Tamir Sorek, 2003/2010)
  29. bone (Yrsa Daley-Ward, 2017)
  30. Pretentiousness: Why it matters (Dan Fox, 2016)
  31. Daydream and Drunkenness of a Young Lady (Claire Lispector, 2015)
  32. Harald Szeemann: Individual Methodology (Le Magasin, 2007)
  33. Buruh Berkuasa: Kumpulan tulisan klasik sindikalisme (Daun Malam, 2016)
  34. Sumpah Pemuda: Makna dan proses penciptaan simbol kebangsaan Indonesia (Keith Foulcher, 2008)
  35. Cautionary Tales: Critical curating (apexart, 2017)
  36. Kumpulan Doa Pendek (Irwan Ahmett, 2008)
  37. Tamagural (Rosell Meseguer, Rodolfo Andaur, 2013)
  38. Catalonia Revolusioner (Yerry Niko, tahun tidak diketahui)
  39. Mengapa Eksperimen Skala Kecil Selalu Gagal (Peter Kropotkin, 2017)
  40. Di Bawah Bendera Hitam (Alimin Prawirodirdjo, dkk., 2017)
  41. Compassion anthlogy (Rain Chudori, dkk., 2018)
  42. No play, Feminist Training Camp (neue Gesellschaft für bildende Kunst, 2016)
  43. Libro Primero/First Book (Benjamín Ossa, 2016)
  44. The Temporary Autonomous Zone, Ontological Anarchy, Poetic Terrorism (Hakim Bey, 1985/1991)
  45. Pazudis Archīvā/Lost in the Archive (Latvian Centre for Contemporary Art, 2016)
  46. Impossible Glossary (hablarenarte, 2018)
  47. 1984 (George Orwell, 1949/2016)
  48. The ‘ruru huis’ (reinaart vanhoe, 2018)
  49. Madness: Tales of fear and unreason (Roald Dahl, 2016)
  50. 3½ Tahun Bekerja: Kuratorial arsip seni & propaganda pendudukan Jepang (Antariksa, dkk., 2018)
  51. Seikat Kisah Tentang Yang Bohong (Berto Tukan, 2016)
  52. New World Summit (Jonas Staal, 2012)
  53. Nosso Lar, Brasília (Jonas Staal, 2014)
  54. For A Left Populism (Chantal Mouffe, 2018)
  55. Ibu Mendulang Anak Berlari (Cyntha Hariadi, 2016)
  56. The Population Myth (Murray Bookchin, 2010)
  57. On Spontaneity and Organisation (Murray Bookchin, 1975)
  58. Landscape: John Berger on Art (John Berger, 2016)
  59. Alih Wahana (Sapardi Djoko Damono, 2012)
  60. The Society of The Spectacle (Guy Debord, 1967)
  61. A Warning to Students of All Ages (Raoul Vaneigem, 1995)
  62. Finn Family Moomintroll (Tove Jansson, 1948/2017)
  63. My Uncle Oswald (Roald Dahl, 1979)
  64. Also-Space, From Hot to Something Else: How Indonesian art Initiatives Have Reinvented Networking (reinaart vanhoe, 2016)
  65. Security Culture (Crimetechinc.Ex Workers Collective, 2014)
  66. Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Soe Hok Gie, 1997/2017)
  67. The Socialism and Anti-parliamentarism of William Morris (Guy Alfred Aldred, 1940/2004)
  68. Theater of Exhibitions (Jens Hoffmann, 2015)
  69. Errico Malatesta and Revolutionary Violence (Alfreddo M. Bonanno, 2011)
  70. Geontologies: A requiem to late liberalism (Elizabeth A. Povinelli, 2016)
  71. Kölee Prize 2018 (EKKM & Lugemik, 2018)
  72. Civil Disobedience (Henry David Thoreau, 1849)
Di awal tahun, saya berharap untuk lebih banyak membaca fiksi, namun setelah melihat daftar di atas, tampaknya tidak sesuai harapan. yakin bahwa dapat membaca buku-buku sesuai sengan keinginan kita adalah sebuah keistimewaan. Tahun ini memang spesial bagi kegiatan literasi saya, karena hampir tidak ada keharusan untuk membaca seperti di tahun ketika saya menulis tesis, atau yang harus membaca buku-buku terkait dengan pekerjaan. Saya bersyukur untuk hal ini, dan siap menyambut 2019 dengan daftar buku yang tidak kalah seru.

 

×
Jakarta, Desember 2018

Guadalajara

In addition to Mexico City, Guadalajara was another city visited by the participants of de Appel Curatorial Programme 2015/16. In this city we spent two days and one night, from 3rd until 4th of November. As a small town, Guadalajara offers a calmer and quiet atmosphere compared to the capital city of Mexico. Our flight from Mexico City arrived in Guadalajara in the morning.

The trip started at noon to visit the studio of artists Jorge Mendez Blake. Jorge graduated from the architecture and changed his profession to become an artist. His work is an extension between architecture and literature, and also the notion of library. That afternoon we saw some people working in his studio. Two of the artisans were completing two separate drawings. Another one was working at the computer. The drawings were dominated by images of book, related to his last work with the theme of the book and the library. Although not explained in more detail about his latest project, Jorge told us that his work would be shown in one of the Art Fair in Miami later this year.

After visited Jorge’s studio, we supposed to have a studio visit with Jose Davila. Our schedule a little bit changed since Jose moved it to the second day of schedule. Finally, Gonzalo Lebrija became the second artist we visited on our first day in Guadalajara. Initially, our visit to the studio Gonzalo was not planned. After Jorge Mendez Blake knew that Jose Davila could not meet us that day, he recommended and directly connected us to Gonzalo.

Therefore, our last visit of the day is to Museo de Arte Zapopan (MAZ). There are two exhibitions that were held at that time. On the ground floor, Jirí Kovanda held an exhibition “Sabana Blanca”, featuring the works of the installation entitled “White Blanket” (2010). This work comes with seven works of him that others are “Untitled” (2008), “One Round Tavle” (2008), “Untitled” (2008), “Two Cushions” (2008), “Kissing Through Glass” (2009), “Couple” (2010) and “Fence” (2008).

Moved to the second floor, there was an exhibition “Estudio abierto 6: 473.85 kg” by LA FAVORITA Colectivo consisting of Zazil Barba, Alberto López and Álvaro Corcuera Ugarte. The project commissioned for this exhibition features a surface layer of sand, on the gallery floor, that covers an indefinite number of Mexican coins with a ten-centavo face value. Visitors were invited to move across the installation as well as explore and interact with it. MAZ was the last location on the first day of our visit in Guadalajara.

The second day was started with a visit to the studio of Cynthia Gutierrez located in Tlaquepaque, which is located in the northern part of Guadalajara. Cynthia shared studio space with her father and her husband, who are also an artist. She has an educational background as a sculptor at the University of Guadalajara, and this fact is evident in her studio. Some sculptures in the process are shown in her studio, in various sizes. One of her main topic was her work on the story of a chicken without a head that was able to live for a few months.

We returned to the center of the city to met Francisco Ugarte in his studio. Francisco Ugarte’s work is based on the grounds of architecture, mainly during the creative process: the proposal is generated from a deep focus in the environment and it is a response to it. Using a variety of media Including site-specific interventions, video, installation, sculpture and drawing, his work can be understood as a phenomenological exercise in which comprehends reality through contemplation, perception and the essence of things. Francisco specifically described the experiments that he was doing through drawing lines as the focus in the work. In addition, some works are based on the book he reads.

Guadalajara has a Barragan House, a space created to honour Luis Ramiro Barragan Morfin, a leading figure among Mexican architects. There is a Barragan House also in Mexico City, but unfortunately it was closed when we tried to visit. In Guadalajara, Barragan House building is dominated by the yellow colour. Visitors are not allowed to photograph the contents inside the building, which contains pieces of cutting sticker from a series of words on each side of the wall. Unfortunately I could not understand at all the cutting stickers that contain writing in Spanish language.

Jose Davila was the last artist that we visited in Guadalajara. When we were there, his studio was under construction, so some parts were still closed. In the first room, there are several works of Jose with a medium glass, stone and bonding string buffer. In the second space, his works were well arranged one by one. Right beside that space, we can see a series of paper works with a cut in the face of political figures. We continued our trip to the studio on the second and third floor, we had a conversation and he shown some books about his works.

After we met the artists in Guadalajara, one of the recommendations were repeatedly said was to be visit the Hospicio Cabañas. Therefore, in the remaining time, we took time to go there after a visit to the studio Jose Davila. This place is a former orphanage that is now used as a place of cultural activities, and has been determined to be one of the world cultural heritages by UNESCO in 1997. The reason many people recommend us to go here is that the murals by José Clemente Orozco, Including one of his most famous creations, the allegory of Man of Fire (1936-39). Orozco is known as one of the “Big Three” muralists along with Diego Rivera and David Alvaro Siqueiros. In addition to the work of Orozco, the most memorable thing in this building was that we get a tremendous tour guide. He was explaining in detail every space that we visited and giving us tips on how to take pictures with responding poses to some parts of the building Hospicio Cabañas.

That was our last day in Guadalajara. In the evening we had to go back to Mexico City. We agreed that our time in Guadalajara was too short. For some people like me, Guadalajara reminds me of my hometown, a quiet and small town in Indonesia. Artists in Guadalajara have a different character compared to the artists in Mexico City. Every artist that we visit has a relatively larger studio than artists in Mexico City. They have close relationship between the one and the other, because the arts community here is definitely smaller than Mexico City.

×

Guadalajara, November 2015.