Apinan dan Slippery Lubricants

Slippery lubricants merupakan istilah yang digunakan oleh Apinan Poshyananda untuk praktik penggunaan seni sebagai alat pelicin mekanisme politik yang dilakukan oleh sebuah negara. Pada mulanya, Apinan melihat fenomena ini justru muncul dengan menggunakan olahraga sebagai ‘pelumas’ dan katalisator untuk mempromosikan hubungan luar negeri suatu negara melalui penyelengaraan Olimpiade. Peta politik dunia berubah drastis paska berakhirnya perang dingin di penghujung tahun 1980-an. Meningkatnya penanaman modal di negara-nerga Asia dan merosotnya ekonomi dunia Barat juga menghantam sistem pasar seni yang juga mempengaruhi para senimannya. Pada masa itu, beberapa kebijakan negara-negara di Asia Pasifik mengarah pada pencegahan konflik-konflik militer dan semakin mempererat ikatan dalam bidang perdagangan dan pengembangan ekonomi, sebagai negara ‘dunia ketiga.’ Dalam kasus slippery lubricants ini, peran pemerintah sebagai penyelenggara praktik seni tersebut ditandai dengan munculnya berbagai penelenggaraan pameran besar di wilayah ini seperti beragam bienal, trienal, dan pameran keliling yang menampilkan karya-karya dari sebuah negara tertentu. Kecenderungan tema yang diangkat ialah mengenai marjinalisasi, pascakolonialitas, identitas, minoritas dan otherness.

Pada awalnya, penyelenggaraan seni yang dilaksanakan masih memperlihatkan Asia sebagai sesuatu yang lain dari kacamata orang kulit putih seperti pada pameran The Integrative Art of Modern Thailand yang diselenggarakan di Amerika Serikat. Dengan mengangkat tema Budhisme, kehidupan sehari-hari, alam dan pencarian identitas, pameran ini tidak diragukan lagi merupakan upaya pengenalan seni rupa kontemporer Thailand ke dalam perspektif orang Amerika. Beberapa pameran setelahnya masih menampilkan kecenderungan serupa dengan tema persilangan budaya antara warga keturunan (Asia atau Afrika) dan persinggunganya dengan dunia Barat, atau di antara budaya negara dunia pertama dan negara dunia ketiga.

Pada awal abad ke-21 (telah dimulai sejak berakhirnya Perang Dingin), mekanisme slippery lubricants setidaknya saya lihat memiliki tiga kecenderungan. Pertama ialah adanya konsolidasi ‘warga Asia’ yang mencoba menghilangakan batas-batas negara melalui penyelenggaraan pameran berskala besar oleh negara Asia yang lebih maju seperti Jepang dan Korea Selatan. Kedua, ada upaya pendekatan yang semakin gencar oleh Australia untuk lebih dekat dengan negara-negara di Asia. Problematika mereka lebih jelas karena secara kultural, Australia (dan Selandia Baru) merupakan negara yang berada di bawah kerajaan Britania Raya, dengan kebijakan politik yang sangat pro Inggris dan Amerika Serikat, namun mereka berada di wilayah yang sangat dekat dengan Asia. Ketiga ialah praktik yang dilakukan oleh sesama negara dunia ketiga, dalam hal ini di Asia Tenggara, yang berada di bawah nama ASEAN bahkan lebih spesifik di beberapa wilayah seperti indochina.

Pada yang pertama, bisa diambil contoh yang sangat jelas dari apa program-program yang diselenggarakan oleh The Japan Foundation. Keseriusan mereka dalam membina hubungan dengan negara-negara di Asia Tenggara tercermin dari beberapa proyek riset kesenian, pameran, residensi dan hibah yang mereka berikan kepada seniman-seniman dan para kurator di wilayah ini. Ada kesan bahwa anggapan sebagai ‘saudara tua’ di negara Asia masih melekat pada negara seperti Korea Selatan dan Jepang terhadap negara-negara di Asia Tenggara. Beberapa contohnya ialah penyelenggaraan Fukuoka Asian Art Triennale, di Fukuoka Asian Art Museum, Jepang. Serta ‘86 Seoul Contemporary Asian Art Show’ di Korea Selatan.

Pada kecenderungan kedua, Asia-Pacific Triennale bisa menjadi contoh bagaimana Australia mencoba mendekatkan diri dengan negara-negara di Asia Pasifik. Terutama dengan Indonesia, hubungan dengan Australia sempat memanas setelah tragedi 11 September dan dua bom Bali yang menewaskan banyak warga negara Australia. Melalui Asia-Pasifik Triennale, Australia memberikan penekanan pada hubungan yang setara antara negara-negara di Asia Pasifik, dan Asia mereka anggap sebagai tempat di mana Australia memapankan identitasnya.

Dalam kecenderungan terakhir, upaya menggunakan seni sebagai ‘pelumas licin’ kepentingan politik pemerintah tercermin dalam kerjasama yang dilakukan berbagai negara Asia Tenggara di bidang budaya. Salah satu contoh ialah penyelenggaraan ASEAN Youth Camp yang diselenggarakan setiap tahun dengan peserta seniman muda (seni rupa, seni pertunjukan dan seni pertunjukan) dari negara-negara anggota ASEAN. Singapura yang merupakan negara termuda di ASEAN melalui Dewan Kesenian Nasional-nya memutuskan untuk menjadi pusat kesenian global sejak 1999. Salah satu program mereka ialah Singapore Biennale yang banyak menampilkan karya dari seniman-seniman dari wilayah Asia dan mekanisme pengkoleksian karya-karya yang dianggap penting khususnya di wilayah ASEAN.

×

Jakarta, Desember 2014. 

 

Sumber:

Agung Hujatnika, “Indonesian Contemporary Art in the International Arena: Representation and Its Changes” dalam http://www.globalartmuseum.de/site/guest_author/238 diakses pada Kamis, 11 Desember 2014. 14.05 WIB.

Apinan Poshyananda, “The Future: Post-Cold War, Postmodernism, Postmarginalia (Playing with Slippery Lubricants)

Patrick D. Flores, “Past Perphery: Curation in Southeast Asia” dalam Ref lections on the Human Condition: Change, Conflict and Modernity. The Work of the 2004/2005 API Fellows.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *