Menjadi Seni Media

Pemakaian istilah “media” dalam dunia seni rupa bisa diartikan sebagai dua hal. Pertama, ia bisa diartikan sebagai alat –sebuah bentuk plural dari kata medium; pengertian lainnya ialah berarti sebagai alat yang berkaitan dengan sarana komunikasi dan perkembangan teknologi. Lebih jauh lagi praktik seni media juga dapat dilihat sebagai aktifitas pengolahan data dan pemanfaatan informasi yang dihasilkan melalui perkembangan di bidang ilmu pengetahuan, terutama dalam mekanisme produksi dan distribusinya. Untuk itu, praktik ini dapat dilihat pula sebagai sebuah sistem informasi yang membaurkan berbagai batasan antara seni dan publiknya, termasuk dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan lain di luar diskursus mengenai seni ataupun estetika secara umum. (1)

Dalam tulisan ini, setiap kata media akan merujuk pada pengertiannya sebagai sarana komunikasi, dan memiliki keterkaitan yang erat dengan perkembangan teknologi. Pada istilah ini, kata media menyertakan penekanan pada hal yang lebih ideologis, yang menempatkan media sebagai salah satu idiom dan strategi artistik dalam memproduksi, medistribusikan dan mempresentasikan karya seni media. Secara umum, istilah seni media juga dipahami sebagai semua bentuk karya seni yang berhubungan dengan waktu yang diciptakan dengan merekam suara atau gambar visual.

Pembacaan mengenai seni media di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa pemikir di Indonesia melalui beragam terbitan buku, pameran dan esai-esai yang terdapat di dalam terbitan katalognya. Pelacakan karya-karya seniman Indonesia yang menggunakan teknologi media sebagai bagian dari karyanya bermula dari akhir tahun 1980-an hingga awal 1990-an. Namun ketika itu bisa ditandai hanya segelintir seniman seperti Teguh Ostentrik, Krisna Murti dan Heri Dono yang memulai jalan untuk tampilnya karya-karya video dalam pameran-pameran seni rupa di Indonesia. Bahkan sepanjang dasawarsa sembilanpuluhan bisa dikatakan bahwa Krisna Murti yang merupakan satu-satunya seniman Indonesia yang secara intens menekuni video sebagai medium ekspresi. (2) Kehadiran karya-karya mereka pada pameran-pameran seni rupa di Indonesia bukan berarti didasari akan kesadaran penggunaan teknologi media itu sendiri di masyarakat Indonesia. Jika pada awal mula kemunculan seni video merupakan sebuah kritik terhadap media di Amerika Serikat, maka lain hal dengan kemunculan seni video di Indonesia. Kesadaran penggunaan medium teknologi yang bermula dari fenomena di masyarakat Indonesia mulai terlihat pada masa-masa setelahnya. Kecanggihan komputer, keserbanekaan video musik, serta film non-mainstream adalah tiga faktor yang mempengaruhi generasi selanjutnya untuk mencoba karya seni videonya dalam pengamatan Ronny Agustinus. (3) Saya tidak akan mengulang penjelasan ini hingga berujung pada kesimpulan tersebut, satu hal yang pasti ialah adanya upaya untuk membaca kaitan perkembangan seni media di Indonesia dengan berpijak pada pengalaman visual yang dialami oleh satu generasi.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kita telah berada pada realitas lain mengenai budaya visual yang disinggung oleh Ronny sebelumnya. Orang yang lahir pada tahun 1990- an dan setelah tahun 2000, berada pada masa ketika percepatan teknologi media bergerak begitu pesat. Referensi visual orang saat ini ialah piranti lunak, aplikasi, ponsel pintar, dan budaya berinteraksi, berbagi, bahkan berkelahi melalui media virtual seperti internet. Jika berkaca pada fenomena budaya visual seperti analisa Ronny di atas, lalu apa yang bisa kita lakukan untuk menganalisa praktik seni media di Indonesia saat ini? Beberapa upaya telah dilakukan terutama dalam beberapa penyelenggaraan yang dikhususkan mengangkat persoalan seni media secara khusus, atau yang berisisan dengan jenis seni yang satu ini.

Perkembangan teknologi media dan penggunaannya sebagai medium ekspresi seniman bisa saja tidak sejalan. Bukan semestinya juga mengharapkan inovasi dari seni media di Indonesia untuk membuat karya dengan teknologi tercanggih yang mengikuti perkembangan mutakhir dari perkembangan teknologi media, misalnya. Harapan semestinya ditujukan kepada kemudian bagaimana seni media di Indonesia menemukan caranya kembali untuk melakukan kritik terhadap media itu sendiri. Kemampuan distribusi, presentasi dan interaksinya dengan penonton sudah seharusnya bisa menjadi pengontrol dan menjadi oposisi dari media itu sendiri —seperti pada awal kemunculan seni video.

Perkembangan teknologi media tentu tak lepas dari beberapa pihak yang berkepentingan di dalamnya seperti pemerintah, korporasi dan masyarakat itu sendiri. Pemerintah Orde Baru sadar betul akan potensi ini di awal masa 1980-an, ketika kehadiran video diaggap telah menimbulkan suatu kekhawatiran dalam masyarakat kita. Khawatir akan terjadinya polusi kebudayaan dan nilai-nilai moral dan khawatir akan rusaknya struktur suatu bidang komunikasi massa, yaitu film. (4) Di sisi lainnya, Orde Baru juga memanfaatkan teknologi media ini sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaanya seperti terlihat dalam proyek pembatan film Pengkhianatan G30S/ PKI yang diproduksi pada 1984 dan Satelit Palapa. Rezim ini mewajibkan masyarakat untuk meyakini versi sejarah Gerakan 30 September 1965 yang terdapat dalam film dengan diputar setiap tanggal 30 September malam hingga tahun 1997. Selain kekuasaan Soeharto yang telah runtuh, alasan pemberhentian film tersebut juga datang atas permintaan Perhimpunan Purnawirawan Angkatan Udara Republik Indoneisa (PP AURI). Sejumlah anggota TNI Angkatan Udara menilai film tersebut mendiskreditkan pangkalan AURI di Halim Perdanakusumah yang dianggap sarang PKI. (5) Pada 1976 satelit Palapa diluncurkan, yang disusul dengan generasi B yang lebih canggih pada 1983. Terutama sejak 1983, satelit ini digunakan sebagai alat melanggengkan sentralisasi kekuasaan melalui pengurangan konten TVRI lokal dengan konten yang berasal dari TVRI pusat di Jakarta, dikenal dengan sebutan Pola Acara Terpadu. (6)

Uraian di atas hanya sebagian dari hasil penelusuran Forum Lenteng melalui Proyek riset Videobase pada 2009. Proyek ini memberikan penjelasan yang komperhensif dalam melacak perlengkapan teknologi video dalam konteks sosial politik di Indonesia sejak masuknya teknologi ini pada 1962, tahun berdirinya TVRI. Pelacakan yang dilakukan dengan membagi dua periode penting dalam perkembangan teknologi: masa analog, yang berkaitan langsung dengan dinamika politik otoriter Soekarno dan Soeharo; dan masa digital, yang merupakan masa terbuka dan kebebasan setelah Reformasi.

Mewacanakan seni media di Indonesia secara kongkrit telah dilakukan dengan beberapa penyelenggaraan pameran yang khusus mengangkat narasi mengenai seni media, terutama seni video di Indonesia. Dalam beberapa pameran, istilah seni media memang awalnya tidak muncul, istilah yang sering keluar ialah pameran multimedia, pameran seni video, pameran seni media baru, atau terkadang mencampurkannya dengan peristilahan seni eksperimental dan performance art. Pada tahun 1995, di Taman Budaya NTB Mataram digelar ‘Pameran Multimedia’ yang diikuti oleh para seniman berlatar belakang pendidikan seni rupa. (7) Dalam laporan tersebut memang bisa dilihat bahwa definisi kata ‘media’ dalam kata multimedia tidaklah dipahami sebagai ‘seni media’ yang sedang kita bicarakan. Media di sini lebih diartikan sebagai sebuah alat yang bisa saja tidak ada kaitannya dengan teknologi media –seperti kertas, tali, binatang, palstik, kayu dan sebagianya yang dicampur dengan media lain seperti gamelan, seni musik, teater dan tari. Tentu harus dilakukan pembacaan ulang terutama pada karya-karya yang ditampilkan untuk melacak sejauh mana gagasan penggunaan media dalam pameran tersebut. Namun bagi saya fakta ini menjadi menarik mengingat inisiatif ini justru juga muncul di kota Mataram yang tidak identik dengan hingar-bingar seni rupa kontemporer Indonesia. Penyelenggaraan pameran seperti ini tercatat juga pernah dilakukan di Medan dengan tajuk Festival Seni Eksperimental pada 1995. (8) Tentu akan keliru jika tergesa-gesa mengambil kesimpulan bahwa keduanya dianggap rintisan awal seni media di Indonesia dalam format pameran; namun melihat catatan mengenai pameran tersebut, beberapa aspek menarik mengenai kekaryaan menjadi penting dengan berbaurnya berbagai macam medium mulai dari objek, suara, dan gerak dalam kedua pameran tersebut.

Istilah pameran multimedia juga kembali muncul dalam pameran Influx: Strategi Seni Multimedia di Indonesia yang diselenggarakan oleh ruangrupa. Pameran ini dikuratori oleh Hendro Wiyanto pada 2011 dan memiliki gagasan yang lebih spesifik akan fenomena seni multimedia di Indoensia: dengan menghadirkan karya-karya yang memperlihatkan kondisi dalam perubahan terus menerus yang terjadi baik di tataran medium maupun pesan itu sendiri. Salah satu sumbangan pemikiran terpenting ialah adanya pembacaan posisi seni multimedia dalam konteks seni rupa dalam esai Ugeng T. Moetidjo dalam katalog pameran ini. Kritik yang perlu digarisbawahi dalam tulisan tersebut ialah mengenai sukarnya menemukan “narasi mekanik” dan “narasi teknologis” pada tingkat wacana seni multimedia di Indonesia. Seni multimedia saat itu masih terbaca sebagai “narasi politis” yang berdasarkan pada “logika sosial” menurut pandangan seniman sendiri. (9) Setelah itu istilah seni media baru juga kerap muncul dalam beberapa pameran, salah satu yang memiliki skala cukup besar adalah The Bandung Video, Film and New Media Art Forum (Bavf-NAF) yang diselenggarakan di Bandung pada 2002 sebagai perayaan akan fenomena seni media baru yang merujuk pada teknologi digital dan forum pembentukan jaringan yang diikuti oleh seniman dari berbagai negara selain Indonesia, seperti Belanda, Jerman, Inggris, Spanyol, Finlandia, Norwegia, Kuba, Amerika Serikat, Australia dan Jepang. (10)

Setelah diawali dengan penggunaan medium video sebagai bagian dari karya seni rupa oleh segelintir seniman Indoensia pada awal 1990-an, setelah tahun 2000 banyak bermunculan seniman-seniman muda saat itu yang gencar menggunakan medium seni video dengan gagasan yang lain, dan konteks kesejarahan yang lebih bisa dilihat dari gejala budaya visual yang mengiringi kehadiran seniman-seniman ini. Ruangrupa, menjadi bagian terpenting dalam mewacanakan penggunaan teknologi media dalam karya seni rupa ini melalui penyelenggaraan festival OK. Video. Meski penyelenggaraan festival ini bermula pada tahun 2003 dengan nama OK. Video Jakarta International Video Art Festival, namun embrio penyelenggaraannya bisa dilihat sejak proyek Silent Forces yang dilaksanakan oleh ruangrupa pada 2001 sebagai sebuah proyek seni video dalam membaca Jakarta. Juga bisa terlihat dalam proyek Swarm pada 2001 yang menghadirkan karya-karya instalasi suara, performance art, objek, dll.

Upaya mewacanakan terus berlanjut dengan penyelenggaraan OK. Video pada tahun-tahun selanjutnya, dengan melihat bagaimana masyarakat menggunakan teknologi media itu sendiri. Salah satu keputusan menghilangkan kata art dalam judul festival berusaha menghilangkan kemungkinan terminologi ini yang bisa menjadi jarak antara audiens dan karyanya. (11) Sumbangan terbesar pergelaran ini ialah turut menjadikan medium seni media ini menjadi salah satu bagian terpenting dalam seni rupa kontemporer Indonesia saat ini. Telah banyak seniman yang lahir dan berkembang bersama ruangrupa khususnya OK. Video yang karyanya telah mendapatkan pengakuan secara nasional maupun internasional. Mengutip seorang teman, bahwa karya seni video saat ini bisa dibilang “sudah mapan.” Tentu tantangan selanjutnya ialah dengan pengakuan tersebut, kemungkinan komersialisai karya-karya ini sangat mungkin terjadi (dan telah terjadi) di wilayah pasar seni rupa, yang terkadang menghilangkan esensi dari seni media itu sendiri yang sangat demokratis dan bisa dinikmati oleh banyak orang.

Di lain sisi, diakuinya terminologi seni video di ranah seni rupa kontemporer Indonesia bisa jadi menekan pengertian seni media yang lebih luas lagi –bahwa seni media itu bukan hanya video semata. Pemaknaan seni media di Indonesia yang pada umumnya berada di wacana seni video mulai bergeser dengan beberapa penyelenggaraan pameran seni media yang mencoba memperluas penggunaan medium teknologi media selain video, dengan latar belakang fenomena penggunaan teknologi tersebut di masyarakat. Salah satu contohnya ialah di Yogyakarta, HONF menggelar Cellbutton: Yogyakarta International Media Art Festival sejak 2007. Selain itu, dua pameran seni media yang diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pada 2010 dan 2011 mempunyai pernyataan yang lebih tegas mengenai pembacaan keterkaitan budaya penggunaan teknologi di Indonesia dalam persfektif seni media dalam bingkai kuratorialnya.

Pameran pertama, dengan judul Pameran Seni Media: Lokalitas dalam Persfektif Teknologi, dilaksanakan di kota Medan dengan dua orang kurator Ade Darmawan dan Hafiz. Pameran kedua hanya dikuratori oleh Hafiz dengan judul Pameran Seni Media: Menggagas Kekinian Indonesia Dalam Seni Media di Taman Budaya Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dengan segala keterbatasannya, pameran ini memang diakui tidak secara komperhensif mampu menampilkan semua jenis karya seni media. Karya-karya yang ditampikan pada pameran pertama merupakan rangkuman dari pembacaan perkembangan mutakhir seni media di Indonesia saat itu. Seniman yang terlibat di antaranya ialah Eko Nugroho, Muhamad Akbar, Wimo A. Bayang, Maulana M. Pasha, Reza Afisina, Tintin Wulia, Ari Satria Darma, Ari Dina Krestiawan, Anggun Priambodo, Henry Foundation, Irwan Ahmett, Otty Widasari, Yusuf Ismail, Andang Kelana, Bandung Center for New Media Art, HONF, dan seniman lainnya termasuk dari wilayah Sumatera. (12)

Pameran kedua pada 2011 mulai melihat perayaan media yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia terutama di internet. Jika Andy Warhol pernah berujar bahwa setiap orang bisa terkenal dalam waktu 15 menit; dalam pengantar kuratorialnya, Hafiz memulainya dengan kalimat “Pada masa sekarang, seseorang bisa saja dengan seketika menjadi bintang, terkenal dan menjadi figur publik.” Pernyataan tersebutlah yang memulai gagasan kuratorial pameran seni media ini yang berpijak dari fenomena penggunaan teknologi media di Indonesia, termasuk singgungan yang terjadi di antara negara, korporasi dan masyarakat. Dua kelompok karya yang ditampilkan terdiri dari seniman undangan dan karya-karya terbaik dari lomba karya seni media 2011. (13)

Akan menjadi klise ketika kita berharap lagi-lagi kepada perbaikan infrastruktur di seni rupa Indonesia. Tapi ini mungkin yang saat ini juga dibutuhkan oleh seni media itu sendiri. Belum banyak penulis kita yang fokus mengkaji problematika seni media, atau minimnya peran lembaga pendidikan seni rupa dalam memberikan pengetahuan mengenai fenomena ini. Namun, dari bebeapa contoh pergelaran pameran seni media yang telah disebutkan di atas, nampaknya kita bisa berharap pada munculnya praktik seni media ini dalam wilayah kekuratoran seni rupa kontemporer, dalam penyelenggaraan pameran atau festival. Posisi kurator dalam seni rupa kontemporer sangat identik dengan posisi kepengarangan (authorship) yang bisa memaknai sebuah pameran sebagai medium bagi para kurator dalam menyampaikan gagasanya. Hal ini memberikan peluang yang besar akan pewacanaan seni media ini seperti contoh-contoh yang telah disinggung di atas. Dalam kaitannya dengan seni media, seorang kurator bisa berperan menyusun gagasan, melakukan riset, menempatkan konteks dan melakukan pemilahan atas karya-karya yang akan dipamerkan. Pengaruh yang dihasilkan dari penyelenggaraan pameran-pameran tersebut memiliki dampak yang lebih masif karena selain dibuat dengan sebuah gagasan kuratorial, juga karya-karya yang ditampilkan sesuai konteks teknologi media itu sendiri di Indonesia. Selain tentunya terbitan katalog- katalog biasanya dicetak dengan esai yang berisi pemikiran kritis tentang praktik ini dalam kurun waktu terjadinya pameran tersebut. Karena sudah seharusnya, praktik kekuratoran bukan hanya bagaimana membuat pameran, yang terpenting ialah mengembangkan pemaknaan kritis di dalam hubungan dan diskusi bersama seniman dan masyarakat.

*
Perunutan perkembangan gagasan seni media di atas menunjukan adanya perubahan pemaknaan secara terus-menerus mengenai praktik ini baik dalam wilayah kekaryaan, peristilahan, hingga penyelenggaraan pameran seni media. Selain itu, bisa dilihat juga bahwa kedekatan aktifitas seni rupa ruangrupa selama ini begitu memiliki keterkaitan yang erat dengan praktik seni media. Dalam 12 tahun penyelenggaraannya, OK. Video tahun ini kembali memantapkan posisinya sebagai penyelenggaraan festival seni media –bukan lagi festival video Internasional. Pertanyaannya ialah, apa urgensi yang dirasa relevan dengan perubahan nama yang tentu juga menandakan adanya perubahan gagasan ini?

Ada dua perbedaan yang cukup mencolok dalam tranformasi OK. Video kali ini jika dibandingkan dengan sebelumnya. Jika pada penyelenggaraan sebelumnya kata art mulia dihilangkan untuk mempersempit jarak antara penonton dan karyanya; pada Ok. Video tahun ini kita bisa menjumpai kata art itu kembali muncul. Hal yang membedakan ialah bahwa terminologi art pada seni media ini merupakan pengkhususan juga perluasan makna dalam saat yang bersamaan. Ia mencoba melebarkan cakupan karya yang tidak terfokus kepada video, tetapi pada karya seni media dengan pengertian yang lebih luas. Kedua, menampilkan kata art di sini menampilkan penegasan bahwa seni media ini harus kembali pada fitrahnya sebagai oposisi dari media itu sendiri, seperti pada muasal lahirnya seni ini. Hal ini tentu berpijak dari pengamatan budaya teknologi media itu sendiri di Indonesia dan peran aktif masyarakat yang menggunakannya. Transformasi ini juga merupakan respon atas budaya teknologi dan referensi visual generasi terbaru sambil berandai-andai mengenai kemungkinan yang akan terjadi pada generasi ke depannya.

Kita berada pada kenyataan distribusi teknologi media yang sangat cepat. Smartphone telah mengubah gaya hidup orang kebanyakan yang bisa menjadi positif atau bahkan sebaliknya. Bahwa realitas virtual adalah sebuah keniscayaan bagi generasi saat ini.

Saya tidak sedang ingin menjawab pertanyaan Ronny Agustinus dua tahun lalu ketika OK. Video telah berusia sepuluh tahun: lalu apa?
Dengan sendirinya, transformasi ke dalam wacana yang lebih luas mengenai seni media bukan hanya video, merupakan sebuah pernyataan yang tegas bahwa ada keharusan untuk kembali melihat fenomena perkembangan teknologi media di Indonesia dengan lebih kritis untuk kemudian seni bisa mengambil peran di dalamnya melalui seni media: sebagai oposisi, pemberi tegangan lain dan mengkritisi bahkan memberikan panggung kepada generasi selanjutnya untuk membaca perkembangan teknologi media melalui seni —dengan bekal referensi yang sudah jauh berbeda dengan generasi sebelumnya.

 

×

Jakarta, Juni 2015.

Catatan kaki:

(1) Gustaff H. Iskandar, 2006. Dalam esai Rekomendasi Pengembangan Praktik Seni Media di Indoensia, ditulis atas permintaan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata/DirektoratJenderal Nilai Budaya, Seni dan Film.

(2) Agung Hujatnika, 2006. (Tentang Seni Media Baru: Catatan Perkembangan), dalam buku “Apresiasi Seni Media Baru”, Direktorat Kesenian, Direktorat Nilai Seni dan Film, Depbudpar.

(3) Lihat: Ronny Agustinus, 2004. (Video: Not All Correct…), dalam OK.Video Post Event, disunting oleh Agung Hujatnika. Jakarta: ruangrupa.

(4) Lihat: Kata Pengantar Buku Seminar Pengelolaan Teknologi Video untuk Pembangunan, hal 1-2, oleh Asrul Sani (Dewan Harian Dewan Film Nasional), Jakarta 7 – 10 Desember 1981.

(5) Baca selengkapnya dalam wawancara Tempo online dengan sejarawan LIPI Asvi Marwan Adam, dalam Cerita di Balik Penghentian Pemutaran Film G30S, 29 Nopember 2012. Tempo.co/read/news/2012/09/29/078432758/Cerita-di-Balik-Penghentian-Pemutana-Film- G30S diakses pada 16 Mei 2015, 11.44 WIB.

(6) Krishna Sen, David T. Hill, 2007. dalam “Media, Culture, and Politics in Indonesia”. Jakarta: Equinox Publishing Indonesia.

(7) Baca lebih lanjut: Liputan KOMPAS edisi Senin, 23 Oktober 1995, halaman 9.

(8) Baca lebih lanjut: Liputan KOMPAS edisi Kamis, 20 Juli 1995, halaman 9.

(9) Ugeng T. Moetidjo, (Logika Mekanis dan Teknologis Seni Rupa Multimedia Indonesia) dalam Hendro Wiyanto, ed. 2011, influx, Strategi Seni Multimedia di Indonesia. Jakarta: ruangrupa.

(10) Lihat terbitan katalog Bavf-NAF #1, 2002. Bandung: Jejaring Artnetworker.

(11) Hafiz, 2013. Oke, Sekarang Mari Melebur, dalam katalog festival OK. Video MUSLIHAT – 6th Jakrta International Video Festival.

(12) Ade Darmawan, Hafiz, 2010. (Seni Media, Mari Melihat dengan Teknologi), pengantar kuratorial dalam Pameran Seni Media: Lokalitas Dalam Perspektif Teknologi. Jakarta: Direktorat Kesenian, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni Dan Film.

(13) Hafiz, 2011. (Membaca Kita dengan Seni Media), pengantar kuratorial dalam Pameran Seni Media: Menggagas Kekinian Indonesia Dalam Seni Media, disunting oleh Pustanto, Yusuf Hartanto, Mahardika Yudha, Andang Kelana. Jakarta: Direktorat Kesenian, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni Dan Film.