Curatorial Turn atau tikungan kuratorial di Indonesia terjadi pada awal tahun 1990-an dengan gejala utama dipengaruhi oleh dua penyelenggaraan pameran besar Asia Pacific Triennale dan Biennale Jakarta IX pada 1993. Sementara itu, Contemporary Turn atau tikungan kontemporer dalam seni rupa Indonesia dimulai sejak 1975 dengan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia sebagai awal mula praktik seni rupa kontemporer di Indonesia. Berakhirnya Perang Dingin dengan runtuhnya kekuatan komunis dan sosialis Uni Soviet berdampak pada seluruh penjuru dunia termasuk pada negara-negara non-blok seperti Indonesia dengan munculnya gejala globalisasi. Krisis di beberapa negara menyebabkan beberapa negara mulai mengalihkan fokus mereka pada negara-negara dunia ketiga seperti yang berada di Asia Tenggara. Salah satu yang paling gencar ialah Jepang dan Australia yang mulai memunculkan isu seni rupa regional dengan menyelenggarakan pameran-pameran Asia, Asi Tenggara, dan Asia-Pasifik. Dampak dari fenomena ini ialah lahirnya kesadaran multeity (keberagaman) pada globalism yang menggantikan internationalism yang percaya pada homogeneity. Tanda penting dari gejala ini ialah diadakannya pameran New Art from Southeast Asia yang diselenggarakan Japan Foundation pada 1992 yang melibatkan tiga seniman Indonesia. Namun yang lebih signifikan ialah penyelenggeraan Asia Pacific Triennale pertama pada 1993 di Queensland Art Gallery, Brisbane, Australia, dan Jakarta Biennale IX pada akhir 1993 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kedua penyelenggaraan pameran besar ini bisa dikatakan sebagai Contemporary Turn dalam seni rupa Indonesia paska berakhirnya Perang Dingin yang tak lepas dari peran Jim Supangkat yang mengawali Curatorial Turn di Indonesia setelah penyelenggaraan dua pameran besar tersebut. Pada 1992 Jim Supangkat diundang dalam pertemuan regional ARX di Perth sebagai jaringan kurator sebelum diadakannya 1st Asia Pacific Triennale di tahun berikutnya. Pemikiran-pemikiran dalam bingkai post-strukturalis/post-modernism banyak dibahas dalam pertemuan itu sebagai upaya untuk memformulasikan cara pandang baru terhadap praktik seni rupa kontemporer di Indonesia. Pemikiran ini berlanjut pada Biennale Jakarta IX ketika Jim Supangkat menjadi kurator dan membuat bingkai kuratorial yang bertujuan manampilkan karya-karya yang dilihat bisa menunjukan tanda-tanda munculnya seni rupa kontemporer di Indonesia. Beberapa seniman yang sebelumnya berpartisipasi di 1st Asia Pacific Triennale juga ikut serta dalam Biennale Jakarta IX seperti FX Harsono, Arahmaiani, Krisna Murti, Agus Suwage, dan Heri Dono.
Gejala-gejala yang mengiringi Contemporary Turn di seni rupa kontemporer tersebut berpengaruh pada Curatorial Turn yang dimulai oleh Jim Supangkat. Pada tahun 1992 ia memutuskan untuk berhenti menjadi seniman dan pengajar, untuk menjadi kurator independen secara penuh. Generasi kurator setelahnya kemudian muncul dengan pola yang bermula sebagai asisten kurator yang lebih senior. Beberapa nama mulia bermunculan pada tahun 1990-an seperti Enin Supriyanto, Asmudjo Irianto, Asikin Hasan, Rizki Zaelani, Hendro Wiyanto dan lainnya. Generasi awal 2000-an muncul sebagai dampak dari jaringan internasional dan pola sebagai asisten dari seniornya tadi. Pada masa ini muncul nama-nama kurator muda seperti Agung Hujatnikajennong, Aminudin TH Siregar, Ade Darmawan, Farah Wardani, Kuss Indarto, Alia Swatika, dan lainnya yang dalam data Patrick Flores pada 2004 berjumlah 35 orang. Jumlah tersebut tentu telah berlipat hingga saat ini, atau 10 tahun setelahnya, dengan berbagai macam pengaruh dari munculnya pendidikan non-formal kekuratoran yang diselenggarakan oleh ruang-ruang alternatif, workshop kekuratoran, residensi, hingga munculnya studi kekuratoran dalam perguruan tinggi seni rupa di Indonesia.
×
Jakarta, Desember 2014.
Sumber:
Jim Supangkat, “Growing Pains; Contemporary Art in Indonesia 1990 – 2010” Tulisan ini versi Bahasa Indonesia artikel dengan judul sama yang akan dimuat pada edisi majalah Artlink, Australia yang masih disiapkan. Merupakan bagian dari special report dengan tema, ‘Perkembangan seni rupa kontemporer di Asia dalam 20 tahun terakhir.’ Diakses dari https://gerakgeraksenirupa.wordpress.com/2013/05/19/growing-pains-contemporary-art-in-indonesia-1990-2010/ pada Kamis, 11 Desember 2014. 13.15 WIB.
Agung Hujatnika, “Indonesian Contemporary Art in the International Arena: Representation and Its Changes” dalam http://www.globalartmuseum.de/site/guest_author/238 diakses pada Kamis, 11 Desember 2014. 14.05 WIB.
Patrick D. Flores, “Past Perphery: Curation in Southeast Asia” dalam Ref lections on the Human Condition: Change, Conflict and Modernity. The Work of the 2004/2005 API Fellows.
CV Jim Supangkat di http://www.globalartmuseum.de/site/person/222 diakses pada Kamis, 11 Desember 2014. 15.25 WIB.
Profil 1st Asia Pacific Triennale di situs resmi mereka, http://www.qagoma.qld.gov.au/exhibitions/apt/apt_1_(1993) diakses pada Kamis, 11 Desember 2014. 15.40 WIB.